Sunyi di Balik Layar Ponsel
Cerpen: Dinda Diana
Sebuah cerita pendek misteri rumah tangga tentang kesabaran, cinta di usia senja, dan rahasia yang diam-diam menggerogoti keutuhan pernikahan setelah empat puluh tahun bersama.
Nardi selalu membayangkan masa tuanya seperti halaman terakhir sebuah buku yang ditutup dengan senyum. Tenang, ringan, dan penuh rasa syukur. Dua puluh lima tahun lalu, ketika Wawan dan Yanti masih berebut uang jajan dan seragam sekolah sering lusuh di lutut, ia menanam harapan itu dengan sabar. Ia bekerja tanpa banyak keluh, menemani Narni membesarkan anak-anak, menunda keinginan sendiri, dan percaya bahwa semua akan terbayar kelak.
“Yang penting anak-anak jadi orang,” katanya suatu malam pada Narni, sambil menambal sandal Wawan yang putus, kalimat dialog itu ia ucapkan dengan suara mantap dan penuh keyakinan.
Saat itu Narni hanya mengangguk. Ia masih Narni yang dulu: manja, mudah ngambek, tak mau disalahkan. Tapi Nardi percaya, pernikahan akan mengikis sifat-sifat itu seperti batu yang dilunakkan air sungai.
Dan memang benar—untuk waktu yang lama.
Kini usia pernikahan mereka menginjak empat puluh tahun. Wawan telah berkeluarga dan tinggal di kota lain. Yanti menyusul, membangun rumah tangga sendiri. Rumah tua itu tinggal berdua saja, seharusnya sunyi yang menenangkan. Namun yang dirasakan Nardi justru sunyi yang menyesakkan.
Bukan anak-anak yang menjadi beban pikirannya. Mereka sudah berdiri di kaki sendiri. Yang mengganggu benaknya justru Narni.
Tiga tahun terakhir, Narni berubah menjadi seseorang yang asing. Ia lebih banyak berbaring di kamar, ponsel tak pernah jauh dari tangannya. Pagi sampai sore, bahkan malam, layar itu menyala dan memantulkan cahaya dingin ke wajahnya. Setiap saran Nardi ditolak mentah-mentah.
“Kamu jangan banyak ngatur,” kata Narni suatu pagi ketika Nardi menyarankan ia berjalan sebentar di halaman, dialog itu terlontar tanpa menatap wajah suaminya.
“Saya cuma khawatir, Ni. Kakimu sering bengkak,” jawab Nardi pelan, berusaha menahan nada suara.
“Nanti saja. Saya bisa urus sendiri,” sahut Narni cepat, seolah kalimat itu sudah dihafalnya.
Padahal, hampir semua urusan rumah ditangani Nardi. Ia mencuci, menyapu, mengepel, menjemur pakaian, bahkan membersihkan kamar mandi. Hanya urusan dapur yang masih dipegang Narni, itu pun sering sekadarnya. Ironisnya, Narni tetap merasa paling lelah, paling benar, dan paling berhak menentukan segalanya.
Nardi sering duduk di teras sore hari, memandangi jalan kampung yang lengang. Dalam diam, ia bertanya-tanya: apa yang salah? Bukankah ia sudah berusaha sebaik mungkin?
Suatu malam, Wawan menelepon. Suaranya terdengar ceria, menanyakan kabar.
“Ibu sehat?” tanya Wawan dari seberang, dialog itu terdengar ringan.
“Sehat… ya begitulah,” jawab Nardi ragu, kalimat itu terhenti di ujung lidahnya.
“Ayah capek?” tanya Wawan lagi.
Nardi terdiam. Ia ingin berkata jujur, tapi menahan diri. “Tidak. Ayah baik-baik saja,” katanya akhirnya, dengan nada yang sengaja dibuat biasa.
Setelah telepon ditutup, Nardi melihat Narni masih di kamar, ponsel di tangan. Ia tertidur setengah sadar, layar masih menyala. Ada notifikasi masuk, berkedip pelan.
Entah dorongan dari mana, Nardi berdiri di ambang pintu. Ia tak pernah berniat melanggar privasi istrinya. Empat puluh tahun bersama, kepercayaan adalah hal terakhir yang ingin ia rusak. Namun malam itu, kegelisahan lebih kuat dari prinsip.
Ia melangkah perlahan, mematikan lampu kamar, lalu menutup pintu pelan. Narni bergeser sedikit, bergumam, lalu kembali diam. Ponsel itu tergeletak di samping bantal.
Nardi menarik napas panjang. Tangannya gemetar ketika mengambil ponsel itu. Layar terbuka, menampilkan sebuah aplikasi percakapan. Nama kontaknya tak dikenal—bukan Wawan, bukan Yanti.
Pesan terakhir terbaca jelas:
“Ibu jangan lupa minum obatnya malam ini. Jangan bilang Ayah dulu, ya.”
Dada Nardi berdegup kencang. Ia menelusuri percakapan itu dengan hati-hati. Setiap kalimat terasa seperti pukulan pelan tapi bertubi-tubi.
Ternyata Narni telah lama berkonsultasi dengan seorang relawan kesehatan daring. Bukan dokter resmi, tapi seseorang yang memberinya perhatian, mendengarkan keluhannya, dan—yang paling menyakitkan—menjadi tempat Narni merasa dipahami. Dari percakapan itu, Nardi menemukan satu kenyataan pahit: Narni mengidap penyakit degeneratif yang perlahan melemahkan tubuhnya. Dokter pernah menyarankan pemeriksaan lanjutan, tapi Narni menolak. Ia takut. Ia tak ingin menjadi beban. Ia memilih diam, bersembunyi di balik layar ponsel.
Air mata Nardi jatuh tanpa suara.
“Kenapa kamu tidak bilang?” bisiknya lirih, kalimat dialog itu mengalir seperti doa yang terlambat.
Pagi harinya, Narni terbangun dan mendapati Nardi duduk di kursi dekat jendela. Wajahnya pucat, matanya merah.
“Kamu kenapa?” tanya Narni, nada suaranya sedikit melembut, mungkin karena firasat.
“Kita perlu bicara,” jawab Nardi pelan, namun tegas.
Narni terdiam. Ia duduk di tepi ranjang, menunduk. Untuk pertama kalinya setelah lama, ponsel itu diletakkan jauh darinya.
“Aku tahu semuanya,” kata Nardi, suaranya bergetar namun terkendali.
Narni mengangkat wajah. Matanya membesar, lalu perlahan berkaca-kaca. “Aku tidak mau merepotkan,” katanya akhirnya, dialog itu pecah bersama tangis yang tertahan. “Aku takut kamu lelah. Kamu sudah terlalu banyak berkorban.”
“Empat puluh tahun aku bersamamu,” jawab Nardi, mendekat. “Kalau aku lelah, itu bukan karena kamu sakit. Tapi karena kamu sendirian menanggungnya.”
Narni menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tangisnya kali ini tak terbendung.
Hari itu, rumah tua itu kembali dipenuhi suara—bukan pertengkaran, melainkan kejujuran yang lama terkubur. Nardi menghubungi Wawan dan Yanti. Mereka pulang beberapa hari kemudian. Tidak ada kemarahan, hanya pelukan dan air mata.
“Ibu tidak sendirian,” kata Yanti sambil menggenggam tangan Narni, dialog itu lembut namun penuh makna.
Misteri sikap Narni akhirnya terkuak. Bukan karena ego semata, melainkan ketakutan dan rasa tak ingin merepotkan. Ego itu hanyalah tameng.
Malam setelah anak-anak kembali ke rumah masing-masing, Nardi dan Narni duduk berdua di teras. Angin membawa bau tanah basah.
“Mungkin aku memang tidak pernah berubah,” kata Narni lirih, dialog itu disertai senyum kecil yang rapuh.
“Mungkin aku juga terlalu percaya waktu akan menyelesaikan segalanya,” jawab Nardi. “Padahal, yang menyelesaikan adalah keberanian untuk bicara.”
Di usia senja, Nardi akhirnya mengerti: rumah tangga bukan soal siapa yang benar atau salah, melainkan siapa yang tetap memilih bertahan, bahkan ketika sunyi terasa seperti musuh.
Dan malam itu, sunyi di rumah mereka tak lagi menakutkan. Ia hanya diam—menunggu untuk diisi dengan saling menguatkan.
Pilihan





