Menguatkan Kaki, Bukan Meratakan Jalan
Refleksi tentang makna keteguhan hidup: mengapa rintangan bukan untuk dihindari, melainkan ruang belajar agar manusia tumbuh kuat, bijak, dan bermartabat dalam menjalani kehidupan.
*****
Ada orang yang berharap hidup selalu mulus, seolah kebahagiaan hanya lahir dari ketiadaan rintangan. Mereka memohon agar jalan diratakan, agar beban diperingan, agar tak perlu terlalu banyak usaha. Harapan seperti ini manusiawi, karena siapa pun ingin merasa aman dan nyaman dalam perjalanan hidupnya. Kita tumbuh dengan doa-doa yang berisi permintaan kemudahan, kelancaran, dan keberhasilan tanpa banyak luka. Dalam bayangan ideal, hidup seharusnya seperti jalan beraspal halus yang bisa dilalui tanpa tergelincir.
Namun kebijaksanaan mengajarkan sudut pandang yang berbeda. Bukan jalannya yang harus selalu mudah, melainkan diri kitalah yang perlu dikuatkan. Rintangan bukan musuh, melainkan ruang latihan. Dari tanjakan, seseorang belajar menyeimbangkan langkah. Dari jatuh, ia memahami arti bangkit dan bertahan. Dari gelap, mata dilatih mengenali cahaya sekecil apa pun. Tanpa pengalaman itu, manusia mungkin akan tetap rapuh, mudah goyah oleh perubahan kecil, dan cepat menyerah ketika kenyataan tak sesuai harapan.
Kita sering lupa bahwa hidup tidak pernah menjanjikan kenyamanan yang permanen. Sejarah manusia adalah catatan tentang perjuangan, kegagalan, dan upaya terus-menerus untuk bertahan. Mereka yang hari ini dikenang karena keteguhan dan kearifannya bukanlah orang-orang yang hidupnya bebas masalah, melainkan mereka yang sanggup berdamai dengan kesulitan, lalu menjadikannya pijakan untuk melangkah lebih jauh. Dalam kesusahan, karakter diuji; dalam keterbatasan, daya cipta diasah.
Di tengah masyarakat kita, khususnya di daerah-daerah yang jauh dari pusat kemewahan, pelajaran ini terasa sangat nyata. Banyak orang yang harus bekerja lebih keras hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka tidak memiliki pilihan jalan yang mulus. Namun justru dari sana tumbuh ketangguhan, solidaritas, dan kepekaan sosial. Kesulitan memaksa manusia untuk saling menopang, berbagi, dan merawat harapan bersama. Tanpa rintangan, mungkin nilai-nilai itu tak akan pernah lahir.
Kecenderungan meminta kemudahan sering kali membuat manusia lupa pada proses. Padahal proses adalah guru yang paling jujur. Ia tidak memberi pujian palsu, tidak menawarkan jalan pintas. Proses menuntut kesabaran, disiplin, dan keberanian menghadapi kegagalan. Setiap langkah kecil yang diambil dengan susah payah menyimpan makna yang lebih dalam dibandingkan keberhasilan instan yang datang tanpa usaha. Dari proses, seseorang belajar mengenali batas dirinya sekaligus memperluas kemampuannya.
Menguatkan diri bukan berarti menutup mata dari rasa sakit atau menolak bantuan. Sebaliknya, ia adalah kesadaran untuk menerima kenyataan apa adanya, lalu memilih sikap yang tepat. Menguatkan diri berarti berani mengakui kelemahan, mau belajar, dan terus berusaha meski hasil belum terlihat. Kekuatan sejati bukanlah ketiadaan air mata, melainkan kemampuan untuk tetap melangkah meski hati sedang lelah.
Dalam konteks pendidikan dan literasi, pandangan ini menjadi sangat penting. Membaca, menulis, dan berpikir kritis bukanlah jalan yang selalu mudah. Ia membutuhkan ketekunan, kesabaran, dan keberanian untuk berhadapan dengan ide-ide baru yang kadang mengguncang keyakinan lama. Namun justru dari proses itulah lahir manusia-manusia yang merdeka dalam berpikir, tidak mudah terombang-ambing oleh arus, dan mampu mengambil keputusan dengan bijak.
Hidup yang penuh tantangan juga mengajarkan kerendahan hati. Ketika seseorang menyadari bahwa ia tidak selalu bisa mengendalikan keadaan, ia belajar berserah tanpa menyerah. Ada perbedaan besar antara pasrah dan putus asa. Pasrah adalah menerima kenyataan sambil tetap berikhtiar, sedangkan putus asa adalah berhenti melangkah karena merasa tak berdaya. Kekuatan batin tumbuh di ruang antara keduanya: menerima dan berusaha.
Sering kali, kita baru menyadari arti kekuatan setelah melewati masa sulit. Apa yang dahulu terasa berat, kini menjadi cerita yang menguatkan. Luka yang pernah perih berubah menjadi pelajaran yang menuntun langkah. Inilah ironi sekaligus keindahan hidup: penderitaan yang dihadapi dengan kesadaran dapat menjelma menjadi kebijaksanaan. Jalan yang terjal membentuk kaki yang kuat; badai yang keras melatih akar agar mencengkeram lebih dalam.
Pada akhirnya, hidup tidak pernah berjanji memberi kemudahan. Yang mungkin diberikan adalah kesempatan untuk tumbuh. Kaki yang kuat membuat seseorang mampu melangkah di jalan apa pun, entah berbatu atau licin. Dan di sanalah martabat manusia diuji—bukan pada seberapa mulus hidupnya, melainkan seberapa teguh ia berjalan. Dalam keteguhan itulah, manusia menemukan makna, bukan sekadar tujuan.
Rumah Literasi Sumenep hadir untuk merawat kesadaran ini: bahwa membaca kehidupan sama pentingnya dengan membaca buku; bahwa menulis pengalaman adalah cara untuk memahami diri dan dunia; dan bahwa belajar adalah perjalanan panjang yang tidak selalu nyaman, tetapi selalu bermakna. Semoga kita tidak hanya berharap pada jalan yang mudah, melainkan juga bersedia menguatkan kaki, hati, dan pikiran, agar sanggup berjalan sejauh apa pun hidup membawa kita.
(Rulis)
Pilihan




