Yang Tidak Akan Pernah Kupunya Selamanya


Cerpen : M. Wildan

Perempuan itu bernama Zahra Naura Azkia. Sederhana, lembut, dan hangat seperti teh satu sendok gula. Tidak berlebihan, tapi cukup untuk membuat seseorang ingin kembali menyesap. Dalam dadanya sudah lama tumbuh perasaan untuk seorang laki-laki bernama Faqih. Cinta itu ia rawat seperti benih yang setiap hari ia sirami, berharap suatu saat akan tumbuh menjadi bunga, meski ia tak pernah yakin tanah tempat benih itu ditanam benar-benar subur.

Tapi hidup kadang bercanda seperti hujan turun pas kita jemput laundry. Faqih tidak pernah melihat Zahra sebagai pelabuhan. Baginya ia hanya angin lewat yang menggerakkan tirai, sementara hatinya sudah lama berteduh pada perempuan lain bernama Aruna. Cantik dengan cara yang membuat pagi terasa seperti baru dilahirkan. Semua orang kagum padanya, dan Zahra sadar… mungkin tidak ada ruang untuk perasaannya tinggal.

Sering di malam sepi ia mengetik pesan panjang, hanya untuk menghapusnya lagi. Ia takut mengganggu sesuatu yang bahkan bukan miliknya. Mengungkapkan cinta bukan selalu jalan menuju bahagia, kadang itu cuma cara menghancurkan diri pelan-pelan.

Suatu sore, hujan turun seperti suara tawa nasib. Zahra berdiri di depan kelas melihat Faqih menunggu Aruna. Mereka tertawa, saling menatap dengan jarak terlalu dekat untuk dimasuki siapa pun. Zahra ingin berbalik, tapi langkahnya membeku. Matanya kering, entah karena hujan sudah lebih dulu mencuri haknya menangis atau karena hatinya kebas.

Faqih menoleh, sekilas saja, tapi cukup untuk membuat dunia retak pelan.

"Zahra Naura Azkia, dari tadi di situ? Maaf ya, aku lagi nunggu seseorang."

Zahra tersenyum tipis. Rapi sekali untuk seseorang yang roboh tanpa suara.
"Gak apa. Aku cuma lewat."

Padahal yang bergerak bukan tubuhnya, melainkan hatinya yang baru saja patah dengan tenang.

Malam itu ia menulis di buku catatannya:

Tidak semua suka harus memiliki tempat pulang.
Tidak semua sayang kembali dalam genggam.
Terkadang mencintai berarti mengalah pada kenyataan.

Ia menutup buku itu bersama hatinya yang masih berdenyut lirih.

Hari-hari berikutnya Zahra mencoba menata napas. Ia tetap melihat Faqih di kampus, tapi tidak lagi memandang terlalu lama. Walau cinta tidak padam semudah memadamkan lilin, setidaknya ia belajar tidak meniupnya tiap hari.

Sampai suatu sore di taman kampus, Faqih duduk di sampingnya.

"Kamu kelihatan capek," katanya ringan.
Sederhana sekali, tapi efeknya seperti orang menekan memar yang belum sembuh.

Mereka berbicara banyak hal. Tugas. Musik. Hujan. Zahra tertawa, dan Faqih ikut tersenyum. Itu yang berbahaya. Laki-laki yang ramah kepada perempuan yang mencintainya tanpa balas adalah pisau tajam berlapis beludru.

Hari demi hari mereka semakin sering bicara. Tidak ada janji, tidak ada cinta, hanya interaksi kecil yang tumbuh liar. Orang mulai melihat mereka seperti garis yang hampir bertemu. Tapi hampir bukan berarti bersentuhan.

Sampai kabar itu datang, Aruna diterima kerja di luar kota. Faqih gelisah. Zahra melihatnya, tapi ia hanya mampu diam. Karena mencintai seseorang bukan berarti berharap mereka gagal hanya agar kita memiliki kesempatan untuk masuk.

Malam sebelum keberangkatan Aruna, Faqih mengirim pesan.

Zahra, boleh ketemu sebentar?

Detak Zahra seperti pintu diseruduk badai.

Mereka bertemu di bawah lampu kampus yang kuning dan lembut. Faqih terlihat letih.

"Aruna berangkat lusa," ucapnya.

Zahra mengangguk. "Kamu sedih?"

Faqih tersenyum rapuh. "Sedih. Tapi aku ingin dia bahagia. Meski nanti jauh."

Zahra paham. Sangat paham. Ia tahu betapa berat mencintai tanpa jaminan kembali.

Lalu Faqih berkata sesuatu yang menahan waktu:

"Kalau dia pergi, kamu mau temani aku?"

Zahra membeku. Di dadanya ada perang antara harapan dan harga diri. Tawaran itu seperti pintu terbuka ke ruangan yang hanya sementara. Ia tahu ia bisa masuk, tapi suatu hari akan diusir keluar.

Zahra menatap Faqih. Napasnya pelan tapi tegas.

"Aku bisa jadi temanmu," ucapnya, "tapi aku tidak akan menjadi tempat kamu menunggu orang lain pulang."

Faqih terdiam. Sunyi lebih jujur daripada kata-kata.

Zahra tersenyum lagi, kali ini bukan menahan sakit, tapi melepaskan sesuatu.

"Gak semua sayang harus bersanding."

Faqih menunduk, mengangguk. "Aku mengerti…"

Tidak ada pelukan. Tidak ada tangis. Hanya dua manusia yang saling menghargai kenyataan.

Zahra pulang malam itu dengan langkah lebih mantap. Masih sakit, tapi ada keberanian yang tumbuh dari puing-puing hatinya.

Di buku catatan ia menulis halaman terakhir:

Jika suatu hari kita bertemu lagi dan semesta memihak, mungkin rasa ini punya rumah.
Jika tidak, aku tetap berterima kasih pada cinta yang mengajarkan cara merelakan.

Dan ia menutup buku itu seperti menutup satu bab kehidupan.

Zahra Naura Azkia memang kalah dalam memiliki,
tapi menang dalam keberanian untuk tidak merendahkan dirinya sendiri.

Terkadang, itu lebih dari cukup untuk disebut kuat, tapi hati tidak pernah bohong kalau sudah terlanjur sayang tidak ada satupun yang bisa menggatikannya mungkin ini nasib Zahra menjadi seseorang yang cintanya bertepuk sebelah tangan, cinta itu dari hati bukan dari mata klo mata bisa melupakan apa-apa yang kita lihat akan tetapi hati tidak akan melupakan seseorang yang iya cintai,  Ustd Wildan pernah pernah berpesan “jangan memaksakan sesuatu yang tidak bisa di paksakan karna itu menyakitkan ingat itu”.

Sampang, Darul Ulum Az-Zaini, 2025

*)M. Wildan adalah nama pena dari Moh. Wildan, ia lahir dan besar di Lebbek, Pakong, Pamekasan, Madura, merupakan mantan Ketua Perpustakaan PPA Lubangsa Utara periode 2024–2025. Ia  pernah aktif berproses di Laskar Pena Lubtara, MSA (Masyarakat Seni Annuqayah), dan dunia pers Jurnal Pentas MA 1 Annuqayah, juga pernah aktif di komunitas kesenian Sanggar Sabda PPA. Lubtara, serta tercatat sebagai santri PPA Lubangsa Utara.  Saat ini ia menjalankan amanah terbesarnya menjadi guru tugas angkatan 2025–2026 di Pondok Pesantren Darul Ulum Az_Zainy, Ketapang, Sampang. Prestasinya antara lain Juara 3 Menulis Puisi Nasional (Pemuda Lingkungan dan Budaya Jawa Barat, 2025), Juara Cipta Puisi Nasional dan Juara 3 Lomba Esai Nasional Juga Juara 2 Menulis Cerpen Nasional (Islamic School Jakarta, 2025), Finalis Asia Tenggara (Kemendikbud Jawa Tengah, 2025), serta terpilih sebagai Best of Participant lomba menulis event nasional (Bunterfly.pro 2025), Naskah puisinya yang bertajuk “Rindu Kami Padamu Tanah Utara” Lolos kurasi 3 Negara, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan terpilih menjadi karya pilihan SIP Publising dan Yayasan Rumah Menulis Indonesia . Karya-karyanya telah dimuat di berbagai media seperti: Riau Sastra, Radar Madura, Suara Merdeka, Rumah Literasi Sumenep, dan dibukukan dalam beberapa antologi bersama, di antaranya Perjalanan Sebuah Nama (CV EMN Media, 2025), Bisik Sendu untuk Negeriku (Sastra Gaia, 2025), dan Melukis Ulang Senja Jilid 1 (Airiz Zera, 2025, Akar Serumpun Anyaman Rasa, Antologi Puisi 3 Negara, Indonesia, Malaysia, Singapura, (SIP Publishing 2025). Ia merupakan penulis lepas mulai dari Esai, Artikel, Cerpen, Puisi, juga saat ini ia aktif menulis di blog pribadinya sibocahpetaniputramadura.blogspot.com

                 

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 5977658964579881433

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Banner untuk Anda

Banner untuk Anda
Anda punya rencana kegiatan yang mau dipublikasikan dalam bentuk banner? Kegiatan apapun, silakan kirim lewat email penulisrulis@gmail.com, dan akan kami terbitkan di halaman ini. Gratis

Budaya Madura

Budaya Madura
Budaya kesukuan menjadi identitas pembeda sekaligus penopang kelanggengan suatu suku. Ia merupakan cara hidup yang berkembang, dimiliki bersama, dan diwariskan antargenerasi. Budaya terbentuk dari berbagai unsur—mulai agama, politik, adat, bahasa, hingga perkakas, pakaian, bangunan, dan seni. Selengkapkan klik gambar dan ikuti tulisan bersambung

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close