Apa Kabar, Bunda Literasi?
https://www.rumahliterasi.org/2025/07/apa-kabar-bunda-literasi.html
Oleh Muhammad Subhan
“Bunda Literasi, apa kabar?” Tentu, harapannya, baik-baik saja, sehat, bahagia, dan tetap menjadi ‘role model’ gerakan literasi di masyarakat, terutama bagi anak-anak di sudut-sudut kampung, di gang-gang sempit, di rumah-rumah kecil di pelosok yang jarang terjangkau buku.
Sejatinya, “Bunda Literasi” bukan sekadar gelar. Bukan sekadar selempang kehormatan yang disematkan di panggung-panggung pelantikan. Istilah ini lahir dari semangat agar ada sosok perempuan anggun berdiri di barisan depan, menjadi teladan bagi gerakan literasi, menjadi pelita di tengah gelapnya minat baca.
Dalam kiprah dengan beban tugas dan tanggung jawab yang berat itu, Bunda Literasi tak sekadar hadir di acara seremonial. Tak sekadar menebar senyum di podium membuka acara. Kehadiran Bunda Literasi mestinya menembus lorong-lorong tempat anak-anak belajar mengeja, tempat para relawan menata rak baca seadanya.
Di banyak daerah, gelar Bunda Literasi sering kali berhenti pada foto di media massa dan media sosial. Pelantikan meriah, sambutan panjang, lalu setelah itu senyap ditelan kesibukan agenda lain. Padahal, peran Bunda Literasi idealnya tak berhenti di atas pentas. Bunda Literasi hadir sebagai pendengar setia. Menjadi tempat pegiat literasi mengadu. Menjadi telinga bagi relawan yang kesulitan biaya. Menjadi sandaran bagi guru-guru yang gundah karena murid lebih asyik menatap gawai daripada lembar halaman buku.
Bunda Literasi mampu menjadi Bunda bagi semua orang. Bagi anak-anak di Taman Bacaan Masyarakat. Bagi ibu-ibu rumah tangga yang ingin mendongeng di teras rumah. Bagi pengelola TBM yang berjuang agar lemari buku mereka tak reyot, tak rebah ditelan rayap. Bagi komunitas menulis kecil yang menggagas cerita rakyat agar tak punah di tengah zaman yang serba cepat.
Peran Bunda Literasi tak cukup berhenti pada seremoni Hari Buku Nasional. Perlu program nyata yang hidup, tumbuh, dan berakar. Gerakan Membaca 15 Menit di Rumah dan Sekolah bisa terus disuarakan. Sekolah Orang Tua Membaca bisa diperluas. Pojok Baca di setiap RT/RW/Kelurahan dapat diwujudkan melalui kolaborasi dengan PKK, karang taruna, dan relawan setempat. Pojok-pojok Baca itu tak dibiarkan sepi, tapi digerakkan.
Di daerah terpencil, motor baca, mobil pintar, atau perahu baca bisa menjadi jembatan. Bunda Literasi dapat memanggil dunia usaha, mengetuk pintu CSR, agar kampung literasi tidak hanya ada di proposal atau di atas kertas pidato, melainkan sungguh hadir, nyata, mewarnai perkampungan dengan kata-kata.
Program Bunda Literasi tak melulu soal tumpukan buku. Literasi digital perlu disentuh. Ibu-ibu diajak melek informasi. Anak-anak diajak bijak berselancar di internet. Cerita rakyat bisa direkam menjadi buku digital, menjadi podcast dongeng daring, agar generasi baru tetap mengenal akar budayanya.
Di balik peran Bunda Literasi, ekosistem yang mendukung harus disiapkan. Pemerintah daerah, sekolah, TBM, komunitas, semua perlu saling menguatkan. Tanpa tim relawan yang solid, tanpa dukungan kebijakan dan anggaran, Bunda Literasi hanya akan berjalan sendiri, kemudian sepi sendiri.
Bunda Literasi bukan dewi penolong. Peran utamanya menjadi jembatan. Menjadi wajah ramah gerakan baca. Menjadi simbol bahwa keluarga tetap sekolah pertama. Menjadi pengingat bahwa mendongeng tak kalah penting dibanding menonton layar. Menjadi pembela bagi pegiat literasi akar rumput yang kerap dianggap sebelah mata.
Banyak ruang yang perlu dijamah Bunda Literasi. Kantong-kantong literasi di kolong jembatan. Ruang baca di panti asuhan. Rak-rak buku di rumah tahanan. Pojok baca di balai desa. Semua butuh sentuhan nyata, bukan sekadar pidato atau foto bersama.
Bunda Literasi di beberapa daerah telah membuktikan bahwa gelar bisa bermakna bila diiringi aksi. Ada yang menolak sekadar foto di baliho. Ada yang rela menenteng buku bekas sambil mengetuk pintu rumah warga. Ada yang datang ke TBM terpencil membawa kardus berisi buku cerita. Ada yang mendengar, mencatat, lalu bergerak membawa pulang daftar PR: bagaimana rak reyot bisa diganti, bagaimana motor baca bisa tetap melaju, bagaimana listrik dan Wi-Fi TBM bisa tetap nyala.
“Bunda Literasi, apa kabar?” Pertanyaan ini bukan hanya basa-basi. Pertanyaan ini adalah pengingat bahwa literasi tidak tumbuh di gedung-gedung megah saja. Literasi tumbuh di pangkuan ibu. Di telinga anak yang mendengar cerita rakyat. Di jari jemari yang menulis, kemudian tulisan-tulisan itu mendapat ruang publikasi berbentuk buku.
Kabar baik bukan soal seberapa sering seminar dihelat. Bukan soal seberapa banyak spanduk kampanye terbentang. Kabar baik hadir bila di gang sempit ada anak-anak duduk melingkar membaca bersama. Bila di TBM-TBM, relawan tak merasa sendiri. Bila pengelola pojok baca tak putus asa, karena tahu ada Bunda yang siap mendengar dan siap mencarikan jalan keluar. Bunda itu mau datang kapan saja, tanpa harus selalu dibuat repot oleh urusan protokoler.
Bunda Literasi, semoga kabar hari ini bukan kabar di atas kertas. Bukan kabar manis di laporan akhir tahun. Tetapi kabar baik yang benar-benar dirasakan oleh setiap anak yang ingin membaca, oleh setiap relawan yang butuh teman, oleh setiap keluarga yang mau belajar menanam benih kata di tanah yang kadang kering minat baca.
Sungguh, di pangkuan Bunda Literasi-lah, benih mimpi-mimpi itu disemai. Agar tumbuh, mekar, berbunga, dan terus berbuah menjadi masa depan yang lebih cerah, yang melek huruf, melek makna, dan melek nurani. Semua itu bermuara pada satu kata: kemanusiaan. Oleh karena kemanusiaan itu pula, peradaban literasi tercipta. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.
Sumber tulisan: Elepsis