Petualangan Timun Emas di Taman yang Tepat.
Minggu pagi, 13 Juli 2025, Taman Budaya Jawa Timur mendadak ramai sekali — penuh Timun, penuh Garuda, dan tentu saja penuh semangat yang tak bisa dibungkus dalam kardus oleh-oleh. Di antara Pendopo, Teras Wisma Seni, hingga Selasar Sawunggaling, bukan hanya kaki-kaki mungil yang menari, tapi juga ingatan kolektif yang menjejak kembali pada masa dua dekade silam, saat taman ini menjadi ruang hidup para seniman, bukan sekadar tempat parkir proyek kebudayaan.
“Petualangan Timun Emas” oleh Raff Dance Campeni bukan sekadar pertunjukan ulang kisah klasik. Ini bukan cerita anak-anak yang menari-nari sambil melempar biji mentimun ke raksasa lapar. Ini adalah metafora sosial yang diproses sedemikian rupa dengan bumbu kekinian — satir pedas mengulik kritis kondisi zaman di mana benar dan salah bisa dijual bersamaan dengan alasan diskon.
Tokoh sentral peristiwa ini, Arif Rofiq — koreografer, pemikir tari, dan penjaga lilin yang tak boleh padam meski angin zaman menderu — menyampaikan sambutan dengan “getar-getir”. Ia membuka dengan kenangan masa lalu, saat seni tumbuh bukan karena anggaran, tapi karena rasa. Saat kolaborasi bukan soal tanda tangan kontrak, tapi soal kepercayaan antar pelaku.
“Lawan-lawan!” adalah seruan para Timun dan Burung Garuda yang terdengar seperti yel-yel sekaligus refleksi. Di tengah dunia yang makin absurd — di mana anak-anak dibingungkan antara fakta dan fiksi, antara konten dan konten kreator — pertunjukan ini seperti cubitan halus (tapi terasa pedih) untuk kita semua: bahwa legenda musti diolah bukan hanya untuk menghibur, tapi juga menyadarkan.
Arif Rofiq dalam kalimat penutupnya, menyelipkan harapan, dengan suara setengah tertelan emosi, “Tetap optimislah…”. Sebuah ajakan yang terdengar seperti mantra agar anak-anak tetap percaya bahwa dunia ini masih bisa dibentuk oleh harapan, bukan hanya oleh algoritma.
Peristiwa ini adalah contoh konkret bagaimana seni pertunjukan tidak hanya berfungsi sebagai warisan budaya, tapi juga sebagai media penyadaran (kritik sosial) yang lembut dan tajam. Taman Budaya, dalam konteks ini, bukan sekadar venue, tapi memori kolektif yang hidup.
Dan ya — Timun Emas tidak lagi sekadar tokoh dongeng. Ia adalah simbol perlawanan baru di zaman ketika kebenaran bisa dibentuk oleh jumlah likes dan retweet.
Akhir kata, peristiwa ini membuktikan: mentimun boleh tua, tapi petualangannya selalu segar. Dan Taman Budaya Jawa Timur — tidak pernah benar-benar pensiun dari tugasnya sebagai dapur besar kebudayaan.
Diangkat dari akun FB Meimura
Pilihan