Sayap-Sayap Hitam
Cerpen: Lilik Rosida Irmawati
Dari kejauhan kapal Baruna mulai terlihat. Setitik noktah hitam bergerak melambat di gulungan ombak yang besar. Kapal berwarna maroon dengan garis-garis hijau tua berbobot sekitar 30 ton itu terlihat terombang-ambing bergulung buih putih yang menghempas di lambung kapal.
Suara klakson pendek terdengar nyaring memecah deru angin dan debur ombak.
Kapal Baruna perlahan memasuki celah laut, antara pulau Poteran dan Kalianget dan akan segera bersandar.
Di geladak bawah para penumpang mempersiapkan diri untuk segera keluar. Sementara itu Aryo masih berdiri di geladak atas, matanya yang tajam menatap debur ombak. Slayer panjangnya berkibar-kibar.
"Aku datang kembali untuk menemuimu," bisiknya.
Saat kapal benar-benar bersandar barulah Aryo melangkahkan kakinya di dermaga. Suasana demikian hiruk-pikuk. Aryo menoleh ke kanan dan kiri mencari sosok Mahesa yang akan menjemputnya. Aryo sejenak memejamkan mata menerobos sekitar dengan mata batinnya.
Bibir laki- laki itu tersenyum, Mahesa sedang duduk di atas motor butut. Bibir hitamnya tak henti-henti mengepulkan asap rokok dan sorot mata memandang deburan ombak memecah bebatuan.
Mahesa terlonjak kaget saat batu kecil menjatuhkan rokoknya. Laki-laki bertubuh kerempeng itu menyapukan pandangan ke seluruh area
Sesaat matanya melebar melihat sosok yang di nantinya tertawa.
"Apa yang engkau lamunkan? " Sapa Aryo melihat Mahesa seperti orang bingung.
"Gadis itu, gadis bermata bola, " Mahesa ngakak. Sesaat kemudian keduanya berpelukan erat.
"Kau semakin tampan," Mahesa meninju lengan Aryo, namun laki-laki berbalut kaos doreng itu meringis kesakitan.
"Baja apa besi?" Tanya Mahesa sembari mengelus tangannya yang sakit.
"Campuran alumunium dan titanium." Aryo ngakak meledek Mahesa sembari menggulung lengan baju.
Tampak otot-otot di lengan Aryo menonjol memanjang meski pemuda itu tidak terlalu gemuk. Dengan tinggi badan sekitar 165 cm dan bobot 58 kg tampak tubuh Aryo semakin kekar.
"Aku kangen soto,"
"Naik! " Perintah Mahesa.
Sepeda motor butut itu pun melaju pelan-pelan keluarr dari area pelabuhan yang sangat ramai, kemudian menembus jalanan menuju arah barat.
"Di tempat biasakan?" Tanya Mahesa.
"Siippp... "
Setelah menikmati soto di warung Mak Mina, Mahesa kembali melajukan sepeda motornya.
"Minggu depan kau dan aku diutus ke Jakarta." Suara Mahesa mengejutkan lamunan Aryo yang fokus menatap gugusan gunung di sisi kanan jalan yang dilewatinya.
"Untuk apa? "
"Hmm, katanya, ada masalah dan perlu penanganan serius. Detailnya aku tidak tahu."
Setelah itu hening. Mahesa berkonsentrasi saat sepeda motor butuhnya telah memasuki belokan- belokan yang semakin menanjak menyisiri lereng- lereng gunung. Raungan mesin memekakkan telinga saat motor berbeban dua orang itu menaiki tanjakan yang cukup tajam.
Mahesa akhirnya menyerah saat sepeda motornya tidak kuat melewati tanjakan dan berniat menuntunnya.
"Turun!"
Aryo tertawa, lalu kedua kakinya ditekankan ke tanah dan tiba-tiba tiba saja kendaraan roda dua itu melesat kencang.
Mahesa terlonjak kaget dan berusaha meraih stang untuk menstabilkan laju motor.
"Kau gila! " Pekik Mahesa.
Untunglah jalanan saat itu sepi sehingga kejadian tersebut tak terlihat oleh siapapun.
"Kau semakin perkasa, Aryo. Ajian apa itu?" Tanya Mahesa penasaran.
"Katak terbang."
"Hahaha .... "
Setelah melewati tanjakan terakhir, pemandangan menghampar demikian indah. Kelokan-kelokan di perut gunung yang tadi dilewati melingkar seakan memeluk bumi yang di dominasi warna hijau.
Sejauh mata memandang gugusan gunung berdiri tegak di sebelah barat dan aroma asin yang terbawa dari hamparan pesisir di sebelah utara terasa menyesakkan dada Aryo.
Entah berapa lama dia tidak menginjakkan kaki di lembah Payudan, tanah leluhur.
"Berhenti sebentar," pinta Aryo.
Mata Aryo kembali menatap sekeliling menggunakan mata batinnya. Saat melihat tebing yang menjulang di punggung gunung, dahi Aryo mengernyit. Ada noktah hitam berpola di beberapa titik yang menggantung di tebing. Dada Aryo menjadi berdebar, itu seperti noktah hitam yang menyelimuti salah satu pulau tak berpenghuni di gugusan pulau Sapeken.
Konon, menurut Daeng Hasano, sang guru dari Sapeken mereka adalah sejenis kelelawar yang bermutasi dan telah memasuki zona mistis serta memiliki kecerdasan tinggi.
"Ada apa?" Tanya Mahesa melihat Aryo terdiam, lalu pandangannya tertuju di kejauhan. Mahesa tak menemukan apapun selain burung- burung walet yang beterbangan di keheningan langit.
"Sebentar,"
Aryo segera melangkahkan kaki mencari tempat terbuka namun tersembunyi.
Lalu laki-laki itu duduk bersila, menyatukan pikiran dan hati dengan semesta.
Aryo terlihat kaget, titik-titik hitam itu kini menampakkan wujud asli. Tubuh-tubuh kecil bergelantungan di atas dahan pohon yang menjulang tinggi dengan posisi memanjang seperti pagar pembatas.
Aryo memusatkan pikiran dan berusaha menerobos titik-titik hitam yang sudah mulai bergerak-gerak seakan ada terpaan hembusan angin.
Sayup-sayup telinga Aryo mendengar cicitan yang semakin lama semakin riuh memecah gendang telinganya.
Aryo menutup area koklea dan kembali memusatkan pikiran berusaha menembus bagian tengah dari formasi yang berbentuk seperti bintang.
Aryo belum berani memastikan sosok apakah yang dijaga begitu ketat. Bukan hanya kepungan hewan-hewan hitam tapi juga lapisan kelabu menyelimuti tengah formasi bintang.
Hembusan nafas berat terdengar dari dada Aryo, dan ia merasakan denyut di telapak kaki kiri. Sebuah pertanda.
"Ada apa" Tanya Mahesa melihat wajah Aryo sepertinya sedang gelisah.
"Sekelompok kelelawar bermata darah sedang mengintai. Entah lembah ini atau wilayah lain."
"Apakah berbahaya?" Kejar Mahesa.
"Aku tidak tahu. Hewan ini sama persis yang mendiami salah satu pulau tak berpenghuni. Aku pernah mendengar, orang menyebutnya tayo dhara," jelas Aryo, "Sayang sekali datuk melarang ku mendatanginya. "
"Mengapa datuk melarang?" Tanya Mahesa penasaran.
"Karena mereka tidak mengganggu meski aku tahu kerja mereka mengawasi, seperti mata-mata, begitu."
"Oke, ayo cabut," ajak Mahesa lalu menghidupkan mesin motor.
Selama perjalanan yang tinggal beberapa menit pikiran Aryo hanya terfokus pada hewan-hewan hitam yang bergelantungan di ketinggian.
Sementara itu ada sorot mata tajam terus mengawasi Aryo. Di antara cicitan yang memekakkan telinga, salah satu kelelawar besar yang dikerubungi ribuan kelelawar kecil menyeringai.
"Pantau terus laki-laki itu!" Perintahnya seraya mengirim pesan rahasia.
"Siap, Rato."
Sesaat kemudian sekitar belasan kelelawar meleset ke udara yang dipimpin oleh Barong. Tugas mereka kali ini bukan hanya sekedar memantau pergerakan Aryo tapi juga harus bisa menginjeksi tubuh laki-laki laki itu dengan racunnya.
Pilihan