Sastra dan Pesantren

Ilustrasi: Para sasntri sedang belajar sastra

Ungkapan-ungkapan puitik, sekali lagi bukan un-tuk menonjolkan, memang lazim digunakan para ulama, baik yang terkenal sebagai pujangga, ataupun tidak. Dalam konteks Nusantara atau Indonesia, tentu kita tidak akan lupa pada nama Raja Ali Haji (w. 1873 M), Amir Hamzah (w. 1946 M) dan Buya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) (w. 1981 M). Amir Hamzah, meski tidak lahir sepenuhnya dari rahim tradisi Islam, terutama karena ia dibentuk oleh perjuangan (Jassin, 1962), kapasitasnya tak diragukan dalam kesusastraan. Puisi-puisinya, selain begitu imajinatif, terlihat jelas senantiasa menghadirkan agama dan Tuhan. Koleksi puisinya yang termuat dalam Nyanyi Sunyi (Njanji Soenji), misalnya, mengandung sejumlah puisi dengan diksi yang disebut oleh Chairil Anwar sebagai "puisi samar". Bagi Chairil, orang hanya bisa memahami puisi Amir Hamzah jika ia paham sejarah dan hubungan antara Islam dan Melayu (Raffel, 1970).

Sementara Buya HAMKA adalah seorang ulama, mufasir, sekaligus sastrawan yang memiliki banyak karya yang cukup populer. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, Merantau ke Deli, Si Sabariyah, dan lainnya adalah beberapa judul yang familier di kalangan masyarakat Nusantara. Tentu saja di luar Tafsir Al-Azhar, karyanya yang berjilid-jilid. Karya-karya Buya HAMKA ini patut dikagumi, terutama dalam penggunaan bahasa puitis ala Melayu yang sangat kental, bahkan dalam kitab tafsirnya. Perhatikan berikut ini:

*... Beribu bahkan berjuta sekarang angkatan muda Islam mencurahkan minat kepada agamanya, karena menghadapi rangsangan dan tantangan dari luar dan dari dalam. Semangat mereka terhadap agama telah tumbuh, tetapi "rumah telah kelihatan, jalan ke sana tidak tahu", untuk mereka inilah khusus yang pertama "Tafsir" ini saya susun." (HAMKA, 1989: 4)

"... Zaman bergilir, ada yang naik dan ada yang ja-tuh, dunia tiada kekal. Bagi diriku sendiri, di dalam hidup ini akupun datang dan akupun akan pergi. Kehi-dupan adalah pergiliran di antara senyum dan ratap. Airmata adalah asin; sebab itu dia adalah garam dari penghidupan."

Tulisan bersambung:

  1. Lebaran Sastra: Menggincui Madrasah dengan Puisi 
  2. Sastra dan Pesantren
  3. Lebaran Sastra: Upaya Memanggil Tradisi untuk Kembali  

Aku mengharap, jika aku mendapat aniaya oleh suatu kekuasaan orang zalim, hanya semata-mata karena mereka suatu waktu berkuasa, pasti datang zamannya. aku dan mereka sama-sama tidak ada lagi di dunia ini. Maka moga-moga dengan meninggalkan "Tafsir" ini. ada yang akan diingat-ingat orang dari diriku sebagai suatu hasil khidmat untuk Tuhan dan ummat. Yang dapat aku kerjakan di dalam saat-saat aku teraniaya. Mojga-moga akan datanglah masanya, aku tidak ada lagi dan orang-orang yang menganiayaku pun tidak ada lagi. tetapi "Tafsir" ini masih dibaca dan dithalaah orang. walaupun pengarangnya sudah lama berlalu. Dan aku tidak dapat memastikan, apakah yang akan menjadi buah tutur orang terhadap para penganiaya itu setelah mereka meninggalkan dunia fana ini? (Ibid.: 53-54)

Kurang puitis apalagi ungkapan "rumah telah keli-hatan, jalan ke sana tidak tahu"? Dus, bagi saya, para ulama ini tidak perlu membuat puisi untuk bisa disebut penyair atau pujangga. Mereka sudah puitis sejak dalam pikiran. Pikiran yang dibentuk oleh tradisi dan ajaran keislaman. Ajaran dengan sumber utama Al-Qur'an, Kitab dengan bahasa puitis dan keluasan makna tak tertandingi karena sejatinya ialah kalam Tuhan. Ya, karena Tuhan itu Maha Puitis, Maha Indah, yang ke-indahan-Nya harus dijelaskan dalam bahasa, maka puisilah wadah yang tepat untuk merayakan keindahan-Nya. Dari dan untuk puisi, kita patut berbangga dan berkarya. Dari dan untuk puisi, mari jalani hidup penuh makna dan esensi, agar terus paradigmatik, progresif. produktif, humanistik, dan spiritualistik.

Sastra dan pesantren

Apa yang telah dimulai oleh generasi muslim awal dan bersambung sampai sekarang terkait tradisi su-sastra inilah warisan yang harus terus dirawat dan dilestarikan. Menulis adalah pilar yang membuat tradisi Islam terus bertahan kokoh hingga hari ini. Karena itu pula, lumrah rasanya jika pilar tersebut juga hadir dalam lembaga pendidikan Islam. Madrasah dan pesantren (saya menganggap keduanya hanya berbeda bentuk dengan substansi dan sumber historis yang sama), dalam hal ini, menjadi wadah utama untuk merawat kebiasaan menulis dimaksud.

Jika menilik sejarah madrasah, kita akan mendapati bahwa keberadaan lembaga ini sudah melahirkan banyak tokoh ulama dengan karya-karya yang tidak terhitung. Beberapa nama penting seperti Abū Ishaq al-Shirāzi (w. 1083 M) dan Abū Hämid al-Ghazali (w. 1 M) dididik di Madrasah Nizamiyyah di Baghdad, Fakhr al-Din al-Razi (W. 1210 M) di Madrasah Khurasan dan Rayy, Imam al-Nawawi (w. 1277 M) di Madrasah Syafiiyah Damaskus, Ibn Khaldun (w. 1406 M), dan lain-lain. Sejumlah nama ulama penting ini menghasilkan beragam karya dalam bidang fikih, tasawuf, tafsir, kalam, dan sejarah. Penguasaan ilmu pada akhirnya harus dibuktikan melalui tulisan. Nama-nama ulama besar Ini menunjukkan bahwa tradisi menulis (kesusastraan) dalam Islam berjalan seiring dengan keberadaan lembaga pendidikan Islam yang baik.

Alasan lain adalah bahwa praktik pembelajaran berbagai ilmu keislaman di madrasah ataupun pesantren (dalam konteks Indonesia) berbasis pada warisan in-telektual (turuts) yang terekam dalam berbagai karya para ulama. Dalam kurikulum madrasah klasik, yang juga diikuti oleh beberapa pesantren di Nusantara. pelajaran tentang syair Arab (Arabic prosody atau 'ilm al-'arud) menjadi pelajaran wajib di samping pelajaran balaghah (retorika), linguistik (wad'), dialektika (al-bahts wa al-munazarah), dan mantiq (logika), di mana semua mendukung kemampuan menulis (Karamali, 2017).

Siapa yang berani bilang kitab-kitab karya para ulama tersebut tidak puitis? Bahkan judulnya pun ditetapkan dengan struktur dan rima. Misalnya, karya Imam al-Ghazali, Al-Maqsad al-asna fi sharh asma Allah al-Husná, atau karya Fakhr al-Din al-Rāzi, Al-Bayan wa al-Burhan fi al-Radd 'ala Ahl al-Zaygh wa al-Tughyan, Ibn Hajar Al-Asqalani dengan Nuzhat al-Nazar fi Taudhih Nukhbat al-Fikar. Bukankah judul-judul itu memiliki "struktur" bahasa yang puitis?

Pesantren, dengan segala kesederhanaannya, ter-nyata juga menyimpan ruang yang luas bagi tumbuhnya ungkapan-ungkapan puitis. Keseharian kehidupan santri yang tak jauh dari lantunan ayat suci, zikir, dan wirid yang berulang dalam ritme dan rima tertentu, membuat ruang tersebut semakin luas. Kebiasaan ini juga membuat santri terbiasa hidup dalam bunyi yang berpola-sebuah syarat untuk lahirnya rasa puitis. Tradisi kitab kuning bahkan sering dibacakan dalam langgam dan irama yang khas; manzhūmah (puisi dengan bahar tertentu) yang dilafalkan, atau syarah (penjelasan) terhadap sebuah teks tak jarang mengandung selingan bait yang puitis. Di pesantren, tradisi sastra dan tarikan puitis tumbuh bukan sekadar sebagai hiasan bahasa, tetapi sebagai rangka untuk tutur pikiran, kelembutan jiwa, penghayatan terhadap keindahan, dan untuk ke-pekaan batin atas isyarat-isyarat Tuhan dalam kehi-dupan.

Wajar jika pesantren di Nusantara melahirkan banyak penyair. Muhammad Zuhri, A. Mustofa Bisri (Gus Mus), D. Zawawi Imron, Emha Ainun Najib, Ahmad Tohari, Acep Zamzam Noor, Jamal D. Rahman, Abdul Hadi WM. Ahmad Syubanuddin Alwy, M. Faizi el Kaelan, Kuswaidi Syafi'ie, Machbub Junaedi, Zaenal Arifin Thoha, Agus Sunyoto, Mustofa W. Hasyim, Kuntowijoyo, Habiburrahman El-Shirazy, dan setumpuk nama juga karya yang tidak bisa disebutkan satu per satu di sini. Semua adalah contoh bagaimana lembaga pendidikan Islam, baik pesantren ataupun madrasah, sudah melahirkan banyak penyair dan sastrawan. Karya-karya mereka memiliki ciri khas tersendiri yang tidak saja menunjukkan bahwa madrasah dan pesantren memiliki kultur sastra, tapi juga mengentalkan tradisi menulis sebagai bakti nyata untuk kehidupan yang senapas dengan ajaran Islam.

Seiring pelbagai perubahan zaman yang berdampak pula pada kultur madrasah dan pesantren, khususnya dalam satu dekade terakhir, geliat sastra dari pesantren dan madrasah seperti mengalami kevakuman. Entah lantaran semakin beratnya kurikulum formal, atau karena ruang ekspresi yang sempit di tengah narasi besar pendidikan nasional yang kerap mengabaikan seni bahasa, atau kemungkinan lain. Padahal, dalam sejarah Indonesia, diakui atau tidak, pesantren merupakan lem-baga pendidikan tertua. Pesantren ikut andil melahirkan banyak penulis dan penyair ulung.

Tidak bisa memastikan kapan perubahan itu terjadi, tapi saya mengerti bahwa karya-karya sastrawan dari madrasah atau pesantren semakin berkurang di deretan buku-buku populer di toko buku seperti Gramedia. Tidak lagi ada karya-karya sastrawan dari rahim madrasah dan pesantren yang dibicarakan masyarakat. Tradisi susastra di madrasah dan pesantren seakan sedang "berlibur" atau "diliburkan" entah ke mana. Padahal pembelajaran di pesantren masih berbasis pada turats. Kementerian Agama bahkan secara rutin menggelar Musabaqah Dirvatil Kutub (kompetisi membaca kitab-kitab) yang bisa diikuti oleh para santri ataupun siswa madrasah, atau Musabaqah Tilawatil Qur'an dan Hadis (perlombaan membaca Qur'an dan hadis) dengan salah satu cabang perlombaannya adalah Karya Tulis Ilmiah Qur'an dan Hadis (KTIQ/H). Namun hadiah berlimpah pun tak kunjung bisa memanggil kembali tradisi itu.

Menghidupkan kembali puisi dan sastra di kalangan santri/siswa madrasah adalah bagian dari menyambung kembali tradisi keilmuan Islam yang luhur. Di saat sebagian besar anak muda lebih akrab dengan story WA. reels Instagram, takarir di Tiktok, dan visualitas yang bisa dinikmati sesaat untuk kemudian di-skip, maka mengajak mereka menulis dan membaca puisi adalah cara yang sunyi untuk memanggil lagi tradisi itu. Di tengah ketidakpastian zaman, menulis adalah alternatif penting untuk melancipkan rasa, mendewasakan batin, dan mencerahkan jiwa. Puisi dan karya sastra lainnya tidak hanya melatih ketajaman pikir dan kepekaan bahasa, tapi juga menghubungkan diri dengan sang Pencipta.

 Tulisan bersambung:

  1. Lebaran Sastra: Menggincui Madrasah dengan Puisi 
  2. Sastra dan Pesantren
  3. Lebaran Sastra: Upaya Memanggil Tradisi untuk Kembali 
Pilihan

Tulisan terkait

Utama 228922756509987315

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close