Alam sebagai “Pelacur”: Refleksi atas Krisis Moral Manusia Modern
![]() |
| Seorang anak menjadi korbar akibat ketamakan manusia membabas hutan yang seharusnya menjadi pelindung air bah (ilustrasi) |
“Manusia modern memperlakukan alam seperti pelacur; mereka menikmati dan mengeksploitasi kepuasan darinya tanpa rasa kewajiban dan tanggung jawab apa pun.”
— Sayyed Hossein Nasr
Pernyataan keras ini bukan sekadar kritik sosial, melainkan tamparan filosofis yang mengajak manusia menengok kembali relasi mereka dengan kosmos. Nasr, seorang filsuf dan pemikir spiritual, menggunakan metafora ekstrem tersebut untuk menggambarkan betapa jauhnya manusia modern dari nilai-nilai sakral yang pernah mengikat hubungan mereka dengan alam. Ungkapan itu memunculkan rasa tak nyaman, tetapi justru ketidaknyamanan itulah yang menjadi jalan masuk untuk memahami kedalaman luka ekologis yang sedang dialami bumi.
Tulisan ini mencoba menafsirkan ulang pandangan tersebut secara luas, mengeksplorasi bagaimana modernitas membentuk cara manusia memandang alam, serta menggali urgensi etika baru yang mengembalikan makna kesalingtergantungan.
Modernitas dan Objektifikasi Alam
Modernitas, dengan seluruh kemajuan yang dibanggakannya, membawa dua warisan besar: rasionalitas dan teknologi. Keduanya tidak dapat dipisahkan dari perubahan cara manusia memandang dunia. Filsafat modern memutus hubungan antara manusia dan tatanan kosmos yang lebih besar. Alam yang dulu dipahami sebagai ruang sakral—tempat roh menjelma, tempat manusia menempatkan dirinya sebagai bagian kecil dari yang Maha Besar—berubah menjadi objek yang “boleh” dikuasai.
Dalam logika modern, alam adalah barang. Ia diukur, dihitung, dibongkar, kemudian diatur ulang sesuai hasrat konsumsi. Relasi yang semula bersifat dialogis—manusia menanam, alam memberi panen; manusia memohon hujan, alam memberikan—kini berubah menjadi relasi dominasi. Alam dijadikan ladang eksploitasi, sementara manusia berdiri sebagai tuan besar yang tidak merasa perlu meminta izin kepada apa pun selain kalkulasi ekonomi.
Dari sinilah metafora “pelacur” mendapat konteksnya. Dalam struktur sosial yang memarjinalkan perempuan dan tubuh, pelacur sering dianggap sebagai objek pemuas hasrat tanpa ikatan emosional atau etis. Nasr mengadopsi metafora ini untuk menunjukkan bagaimana manusia modern memperlakukan alam: sebagai objek tanpa nilai intrinsik, dipakai untuk memenuhi keinginan, lalu ditinggalkan ketika habis.
Kekosongan Spiritual dan Krisis Etika
Pandangan Nasr tidak berhenti pada kritik ekologis, tetapi menyentuh akar terdalam: krisis spiritual manusia modern. Di mata Nasr, kerusakan lingkungan bukan sekadar masalah teknis—bukan semata-mata karena plastik, deforestasi, atau emisi—melainkan masalah metafisik. Modernitas menjauhkan manusia dari makna sakral alam. Alam tidak lagi dipandang sebagai ciptaan yang pantas dihormati, tetapi sebagai sistem mekanistik yang dapat dikendalikan sesuka hati.
Jika dalam tradisi tradisional alam dipahami mengandung jiwa atau spirit, modernitas menghilangkan seluruh dimensi itu. Yang tersisa hanyalah kalkulasi material. Ketika makna spiritual hilang, etika pun memudar. Tanpa etika, hubungan manusia dengan alam merosot pada tingkatan transaksi: mengambil sebanyak-banyaknya, membayar sesedikit mungkin.
Di sinilah krisis ekologis hari ini menemukan akar moralnya. Bukan karena manusia tidak tahu bahwa bumi rusak, tetapi karena tidak lagi merasa terikat secara batin dengan bumi. Kita tahu hutan tropis menyusut, terumbu karang mati, sungai penuh sampah, udara tercemar—namun pengetahuan itu tidak menggerakkan perubahan mendasar. Kita seperti pelanggan tetap yang tahu tindakannya merusak, tetapi tetap muncul di “pintu” yang sama, mengulang pola eksploitasi.
Hasrat Konsumtif: Bentuk Baru Penaklukan
Jika dulu penaklukan dilakukan dengan pedang dan kolonialisasi, kini penaklukan terjadi melalui konsumsi. Sistem ekonomi global dibangun atas dasar pertumbuhan tak terbatas, yang berarti mengambil sebanyak-banyaknya dari alam. Segala aspek kehidupan manusia modern diarahkan untuk memuaskan keinginan, bukan kebutuhan.
Kita memotong hutan demi minyak sawit agar bisa membeli makanan berminyak dalam kemasan. Kita mengeringkan danau untuk ditambang litium agar bisa memiliki gawai terbaru. Kita menyedot minyak bumi untuk transportasi cepat demi memenuhi ritme hidup yang tidak pernah berhenti. Setiap benda yang kita sentuh menyimpan jejak luka ekologis, tetapi jarang kita memikirkan itu.
Dalam relasi ini, alam bukan hanya dieksploitasi; ia juga dibungkam. Suaranya, yang pernah didengar lewat gemuruh hujan atau bisik angin oleh masyarakat tradisional, kini tenggelam dalam kebisingan mesin dan lampu kota. Manusia modern tidak lagi mengenal bahasa alam, karena mereka terlalu sibuk berbicara dengan ambisi sendiri.
Konsekuensi: Bumi yang Letih dan Masa Depan yang Rapuh
Tindakan tanpa tanggung jawab melahirkan konsekuensi yang menumpuk dari abad ke abad. Hari ini kita menyaksikan betapa metafora Nasr menjadi kenyataan pahit:
- Sungai yang dulu mengalir jernih kini berubah menjadi saluran limbah industri.
- Hutan tropis yang berabad-abad menjaga keseimbangan planet ditebang demi ruang untuk monokultur.
- Udara yang dulu menjadi anugerah gratis kini tercemar sehingga manusia harus membeli air purifier.
- Laut dipenuhi plastik hingga biota laut memakannya, lalu plastik itu kembali masuk ke tubuh manusia.
Alam yang diperlakukan seperti pelacur akhirnya rusak, sakit, dan kehilangan daya pulih. Tetapi berbeda dengan relasi manusia-pelacur yang personal dan lokal, kerusakan alam berdampak global. Kita merasakan kembali akibat dari keserakahan kita sendiri.
Ironisnya, manusia modern masih merasa berhak menikmati alam, bahkan ketika alam tidak lagi mampu menyediakan. Kita menuntut cuaca stabil, tetapi menghancurkan hutan yang menjadi penyangganya. Kita ingin udara segar, tetapi tidak berhenti menambah kendaraan. Kita mengutuk banjir, tetapi menutup tanah dengan beton tanpa jeda.
Kewajiban yang Hilang, Tanggung Jawab yang Ditinggalkan
Metafora pelacur juga mengandung makna lain: ketimpangan moral. Nasr menyoroti tindakan tanpa kewajiban dan tanggung jawab, sesuatu yang kini menjadi ciri masyarakat konsumtif. Dalam hubungan yang sehat, selalu ada keseimbangan antara memberi dan menerima. Namun manusia modern hanya ingin menerima—menarik sebanyak yang bisa ditarik dari bumi, tanpa pernah berhenti untuk bertanya: apa yang harus saya berikan kembali?
Kewajiban moral terhadap alam seharusnya menjadi fondasi etika ekologis. Jika kita menerima oksigen dari pohon, maka kita wajib melindungi hutan. Jika kita minum air dari sungai, kita wajib menjaga sungai tetap bersih. Jika kita hidup dari tanah, kita wajib memperlakukannya dengan hormat.
Tetapi modernitas memisahkan keberlanjutan dari kehidupan sehari-hari. Ia menjadikannya slogan, bukan praktik. Tanggung jawab ekologis menjadi poster kampanye, bukan kebiasaan hidup.
Kembali pada Kearifan: Menghidupkan Relasi yang Lebih Manusiawi
Untuk keluar dari krisis ini, Nasr tidak menawarkan solusi teknis, melainkan perubahan cara pandang. Manusia harus kembali memandang alam sebagai subjek—bukan objek. Alam harus dilihat sebagai entitas yang memiliki hak untuk hidup, berkembang, dan dihormati. Kearifan tradisional di banyak budaya—termasuk Nusantara—mengajarkan hal ini. Ada hubungan spiritual antara manusia dan tanah, air, hutan, laut. Setiap unsur dipandang sebagai saudara, bukan budak.
Modernitas telah memutus hubungan itu, namun bukan berarti tak bisa disambung kembali. Kita perlu menghidupkan etika ekologis berbasis rasa:
- Rasa hormat pada kehidupan.
- Rasa syukur atas anugerah alam.
- Rasa tanggung jawab pada generasi mendatang.
- Rasa keterhubungan pada seluruh ciptaan.
Dengan rasa-rasa itulah relasi manusia dengan alam dapat pulih. Bukan melalui teknologi hijau semata, tetapi melalui kesadaran baru bahwa manusia bukan pusat semesta, melainkan bagian kecil dari jaringan kehidupan yang jauh lebih besar.
Mengganti Relasi Eksploitasi dengan Relasi Cinta
Pernyataan Sayyed Hossein Nasr tidak perlu dipahami sebagai cacian kepada manusia modern, melainkan sebagai undangan untuk bercermin. Jika kita memperlakukan alam seperti pelacur—dipakai, diabaikan, dilukai—maka kita sedang merusak diri kita sendiri. Karena pada akhirnya, alam bukan sekadar penyedia sumber daya, tetapi rumah tempat kita hidup.
Mungkin saatnya berhenti menjadi pelanggan yang rakus dan mulai menjadi penjaga yang penuh cinta. Bukan cinta sentimental, tetapi cinta yang berwujud tanggung jawab, kebijaksanaan, dan keberanian untuk berubah.
Hanya dengan demikian metafora yang kelam itu tidak lagi menjadi kenyataan.
Dan barangkali, pada saat itu, manusia akhirnya belajar menghormati kehidupan—bukan sebagai objek, tetapi sebagai sahabat setara dalam keberadaan.
(Rulis/AI)
Pilihan





