Mengapa Sastra Daerah Mulai Dilupakan, dan Mengapa Kita Harus Menjaganya
Di tengah ramainya dunia digital—dari drama Korea, TikTok, sampai film-film luar negeri—ada satu suara yang semakin pelan: sastra daerah. Padahal, di dalam cerita-cerita rakyat, tembang lama, pepatah, dan naskah kuno itu tersimpan identitas kita. Persis seperti album keluarga yang menaruh foto nenek buyut kita, sastra daerah menyimpan jejak siapa kita sebenarnya.
Namun hari ini, karya sastra daerah seperti berdiri di tepian, tidak lagi menjadi pusat perhatian. Banyak anak muda lebih akrab dengan bahasa asing atau slang internet daripada bahasa ibunya sendiri. Fenomena ini menimbulkan satu pertanyaan penting: mengapa sastra daerah makin dilupakan, dan apa jadinya jika kita benar-benar kehilangan semua itu?
Sastra Daerah: Cermin yang Menunjukkan Wajah Kita
Sastra daerah tidak hanya bicara tentang cerita rakyat yang sering kita dengar waktu kecil. Ia adalah cermin kebudayaan. Lewat bahasa, gaya bertutur, pantun, mitos, dan legenda, kita bisa melihat cara nenek moyang membaca hidup. Ada nasihat, kritik sosial, humor, bahkan filosofi yang masih relevan sampai sekarang.
Ia juga menjadi perekam sejarah. Banyak catatan tentang asal-usul desa, tokoh lokal, dan tradisi masyarakat tersimpan dalam bentuk cerita lisan. Saat kita membaca atau mendengar sastra daerah, sebenarnya kita sedang membuka kembali ingatan kolektif yang tidak ada di buku pelajaran sekolah.
Karena itu, ketika sastra daerah mulai terpinggirkan, sebenarnya kita sedang kehilangan “peta identitas” diri kita sendiri.
Mengapa Kita Berjarak dari Bahasa dan Sastra Daerah?
Berkurangnya minat masyarakat, terutama generasi muda, bukan tanpa sebab. Ada beberapa hal yang membuat sastra daerah seperti kehilangan tempat dalam kehidupan sehari-hari.
Pertama, dominasi budaya global. Kita hidup dalam dunia dengan arus informasi yang deras. Musik, film, dan tren dari luar negeri begitu mudah masuk. Akibatnya, budaya lokal kalah bersaing—bukan karena tidak menarik, tetapi karena tidak hadir di ruang-ruang digital yang kita konsumsi setiap hari.
Kedua, bahasa daerah semakin jarang digunakan di rumah. Ketika orang tua merasa bahasa Indonesia lebih praktis, anak-anak pun tumbuh tanpa kedekatan emosional pada bahasa ibunya sendiri. Tanpa bahasa, sastra daerah otomatis terasa asing.
Ketiga, cara pengajaran yang kurang menarik. Pelajaran bahasa daerah di sekolah sering berhenti pada teori. Padahal, sastra daerah seharusnya bisa menjadi ruang kreatif yang menyenangkan, bukan sekadar daftar kosakata atau hafalan puisi klasik.
Dan keempat, stigma bahwa sastra daerah itu kuno. Generasi muda sering merasa sastra daerah tidak relevan dengan kebutuhan zaman. Padahal nilai-nilai yang dibawanya—tentang kejujuran, kearifan, hubungan manusia dan alam—tetap penting di era apa pun.
Haruskah Kita Tetap Peduli? Jawabannya: Ya, dan Bukan Sekadar Alasan Nostalgia
Ada yang bilang, “Biarkan saja, zaman kan terus berubah”.
Betul, tapi kehilangan sastra daerah sama seperti kehilangan suara yang membentuk kita.
Sastra daerah adalah sumber:
- kearifan hidup,
- cara berpikir khas masyarakat,
- inspirasi kreatif,
- dan pemahaman tentang identitas.
Bayangkan suatu hari, tidak ada lagi yang bisa membaca naskah kuno dalam bahasa daerah. Tidak ada lagi yang mengenal dongeng rakyat selain versi yang dipermudah di buku anak. Atau lebih sedih lagi: tidak ada anak muda yang bisa berbicara dengan bahasa daerah orang tuanya sendiri.
Saat itu terjadi, kita bukan hanya kehilangan bahasa—kita kehilangan ingatan.
Bagaimana Supaya Sastra Daerah Relevan Lagi?
Sastra daerah tidak harus tampil seperti dulu. Ia bisa diperbaharui, dikemas ulang, dan ditampilkan dalam bentuk baru yang dekat dengan dunia digital.
Beberapa langkah sederhana yang bisa membuatnya hidup kembali:
- Mengemas sastra daerah dalam media modern
Bayangkan dongeng lokal menjadi animasi, komik digital, podcast cerita, atau novel grafis.
Sastra daerah bisa hadir dalam feed TikTok, reels Instagram, atau video YouTube. Jika bentuknya menarik, generasi muda pasti lebih mudah menyukainya.
- Menghidupkan kreativitas di sekolah
Pelajaran bahasa daerah tidak harus kaku. Mengapa tidak membuat drama, film pendek, atau lomba bahasa daerah?
Ketika pelajar terlibat sebagai kreator, sastra daerah akan terasa lebih dekat.
- Menguatkan komunitas dan ruang publik budaya
Festival sastra daerah, teater rakyat, workshop penulisan, dan pertemuan kreatif bisa menjadi tempat bertemunya generasi tua dan muda. Dari sana, cerita-cerita lama bisa menemukan bentuk baru.
- Menumbuhkan bangga terhadap identitas lokal
Sastra daerah harus dilihat sebagai kekuatan, bukan kekunoan.
Ketika kita nyaman dengan identitas sendiri, kita justru semakin siap menghadapi dunia global.
Membaca Kembali Diri Kita
Sastra daerah mungkin tampak sederhana—sebuah dongeng nenek, tembang masa kecil, pantun jenaka, atau naskah tua yang mulai rapuh. Tetapi di balik kesederhanaannya, ia menyimpan sesuatu yang besar: jati diri.
Menjaga sastra daerah bukan hanya menjaga masa lalu, tetapi menjaga masa depan yang tahu dari mana ia berasal. Generasi muda tidak harus kembali hidup seperti masa lampau. Yang kita butuhkan hanyalah jembatan: agar nilai, cerita, dan kearifan itu tetap hidup, dalam bahasa dan bentuk yang bisa diterima zaman.
Kita boleh mencintai budaya global, tetapi jangan sampai kehilangan rumah budaya kita sendiri. Karena pada akhirnya, sastra daerah bukan sekadar warisan—ia adalah cerita tentang diri kita. Dan tanpa cerita itu, kita akan berjalan di dunia tanpa akar.
(Rulis)
Pilihan





