Bung Tomo: Suara dari Surabaya yang Menggetarkan Dunia


 Api dari Suara Rakyat

Suara itu membelah udara Surabaya yang tegang. Serak, menggelegar, tapi penuh tenaga moral yang luar biasa. “Saudara-saudara sekalian! Kita bangsa Indonesia yang cinta merdeka... lebih baik hancur lebur daripada tidak merdeka!

Itulah suara Sutomo, yang kemudian lebih dikenal sebagai Bung Tomo — lelaki kecil berwajah keras, dengan sorot mata yang tajam, berpeci hitam, dan semangat yang seolah menyala di seluruh tubuhnya. Pidato itu bukan sekadar seruan. Ia adalah dentuman pertama dari revolusi yang benar-benar hidup di dada rakyat Surabaya.

Pagi itu, awal November 1945, Surabaya bergetar bukan karena bom, tapi karena suara manusia. Suara seorang pemuda 25 tahun yang membakar semangat rakyat hingga berani melawan pasukan sekutu yang jauh lebih kuat, lengkap dengan kapal perang, tank, dan senjata berat.

Bung Tomo berdiri di balik mikrofon sederhana Radio Pemberontakan. Dari sana, semangat rakyat Surabaya menembus batas ruang dan waktu. Gelombang udara itu memanggil rakyat: tukang becak, santri, buruh pelabuhan, pedagang kaki lima, hingga pemuda-pemuda kampung. Mereka semua menjawab panggilan itu — dengan bambu runcing, dengan doa, dan dengan keberanian.

Bung Tomo telah mengubah suara menjadi peluru. Ia bukan hanya berbicara, ia menyalakan jiwa bangsa.

Dari Wartawan ke Pejuang

Sutomo lahir di Surabaya pada 3 Oktober 1920. Ia bukan anak dari keluarga priyayi bangsawan, tetapi darah perjuangan mengalir deras dalam tubuhnya. Ayahnya, Kartawan Tjiptowidjojo, seorang pegawai pemerintah, dan ibunya, Suharsih, perempuan yang taat dan cerdas. Mereka menanamkan dalam diri Tomo kecil nilai-nilai kejujuran, harga diri, dan semangat melawan ketidakadilan.

Sejak muda, Sutomo menunjukkan dua bakat besar: kemampuan berbicara dan berpikir kritis.

Ia tidak suka diam ketika melihat ketimpangan. Di sekolah, ia sering berdebat dengan guru Belanda yang menghina bangsanya. Setelah dewasa, ia menjadi wartawan untuk surat kabar Soeara Oemoem dan Perdjoangan. Dari dunia jurnalistik inilah Sutomo belajar memahami denyut rakyat — penderitaan mereka, mimpi-mimpi mereka, dan kemarahan mereka terhadap penjajahan.

Di bawah pendudukan Jepang (1942–1945), Sutomo aktif dalam organisasi-organisasi semi-militer dan kepemudaan, seperti PETA (Pembela Tanah Air) dan Barisan Pelopor. Namun, berbeda dari banyak tokoh lain yang memilih kompromi, Sutomo justru memanfaatkan situasi itu untuk membangun kesadaran politik rakyat. Ia tahu, Jepang hanya mengganti wajah penjajahan, bukan membebaskan.

Dalam diri Sutomo tumbuh keyakinan: kemerdekaan sejati tidak bisa diberikan oleh siapa pun, harus direbut.

Hari-Hari Menjelang Ledakan

Ketika Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, Surabaya langsung bergolak. Rakyat mengibarkan merah putih di setiap rumah, di setiap tiang bambu, di setiap hati mereka.

Namun kebahagiaan itu tidak lama. Pasukan Sekutu — yang sebenarnya membawa misi mengurus tawanan perang Jepang — datang bersama NICA (Belanda) yang berniat mengembalikan kekuasaan kolonial. Mereka menuntut rakyat menyerahkan senjata yang telah direbut dari tentara Jepang. Tentu saja rakyat menolak. Mereka baru saja merdeka, dan kini diminta untuk kembali tunduk? Tidak!

Situasi semakin memanas setelah insiden Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit) pada 19 September 1945, ketika pemuda-pemuda Surabaya merobek bagian biru bendera Belanda yang berkibar di atap hotel itu, menyisakan merah putih.
Itulah simbol penolakan total terhadap kembalinya penjajahan.

Bung Tomo, yang sudah dikenal sebagai orator muda, segera tampil ke depan. Ia bersama tokoh-tokoh seperti KH. Hasyim Asy’ariKH. Wahid HasyimDoel Arnowo, dan Moestopo, memimpin barisan perjuangan rakyat. Ia mendirikan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), yang kemudian menjadi kekuatan utama dalam pertempuran Surabaya.

Pidato yang Menggetarkan

Tanggal 9 November 1945. Langit Surabaya muram. Pasukan Inggris yang dipimpin Brigadir Jenderal Mallaby sudah menyiapkan serangan besar. Surat ultimatum telah disampaikan kepada rakyat Surabaya: menyerah tanpa syarat atau kota ini akan dibumihanguskan. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Malam itu, dari radio kecil di Jalan Mawar, Bung Tomo kembali menyiarkan pidato legendarisnya:

“Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah! Kita akan menghadapi musuh. Mereka datang untuk menjajah kita kembali. Tetapi kita sudah merdeka!
Jangan takut! Tuhan bersama kita. Percayalah, kemenangan ada di pihak yang benar. Sekali merdeka tetap merdeka!”

Kata-kata itu meluncur seperti petir. Rakyat menyiapkan bambu runcing, parang, bahkan panci besi yang dijadikan tameng. Para kiai menggelar doa, anak-anak muda menulis kalimat “Merdeka atau Mati!” di dinding kota.

Keesokan paginya, 10 November 1945, langit Surabaya berubah merah.
Pasukan Inggris menggempur dari udara dan laut. Kapal perang HMS Sussex menembakkan meriam ke tengah kota. Gedung-gedung runtuh, rumah-rumah terbakar, dan ribuan rakyat gugur.

Namun semangat tidak padam. Dari sela-sela reruntuhan, radio Bung Tomo masih hidup. Suaranya serak, penuh emosi, tapi tegas:

“Jangan mundur! Lawan terus! Sekali lagi saya katakan, kita lebih baik hancur daripada dijajah lagi!”

Pidato itu bukan sekadar siaran. Ia menjadi nyawa kolektif rakyat.
Para pejuang muda seperti Harun TohirDoel Arnowo, hingga santri-santri dari pesantren-pesantren di sekitar Surabaya, berjuang dengan semangat jihad dan nasionalisme yang menyatu. Di setiap penjuru kota, rakyat bertempur dengan satu keyakinan: selama suara Bung Tomo masih terdengar, mereka tidak boleh menyerah.

Darah dan Doa di Jalan-Jalan Kota

Pertempuran Surabaya berlangsung selama tiga minggu penuh. Lebih dari 20 ribu rakyat gugur. Kota berubah menjadi lautan api. Namun perlawanan itu meninggalkan jejak abadi: Indonesia menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa ini tidak bisa ditaklukkan dengan senjata.

Di tengah kekacauan itu, Bung Tomo tidak pernah meninggalkan rakyat.
Ia berpindah dari satu pos ke pos lain, dari studio radio ke markas BPRI. Ia memberi semangat kepada para pejuang, memeluk mereka yang terluka, menguburkan yang gugur, dan selalu berkata,

“Kita bukan kalah, kita sedang menulis sejarah.”

Setelah Brigadir Jenderal Mallaby tewas pada 30 Oktober 1945, pasukan Inggris semakin brutal. Tapi Bung Tomo tetap menolak menyerah. Ia tahu, setiap tetes darah rakyat akan menjadi api kemerdekaan yang abadi.

Surabaya mungkin hancur, tapi semangatnya tak pernah padam.

Setelah Api Padam

Setelah pertempuran usai dan Surabaya luluh lantak, Bung Tomo menjadi simbol perlawanan. nasional. Namanya menggema di seluruh Indonesia. Ia tidak mencari jabatan atau kekuasaan, ia hanya ingin memastikan bahwa semangat perlawanan tidak padam di hati rakyat.

Dalam masa-masa setelah revolusi, Bung Tomo aktif di politik. Ia menjadi anggota DPR pada masa awal kemerdekaan, lalu mendirikan Partai Rakyat Indonesia. Namun politik bukanlah medan yang benar-benar ia cintai. Ia sering kecewa melihat bagaimana semangat perjuangan digantikan oleh perebutan kekuasaan dan kepentingan pribadi.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, Bung Tomo sempat dikucilkan karena pandangan politiknya yang keras terhadap korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Namun ia tidak pernah berhenti berbicara. Ia tetap menjadi suara nurani — meski kadang tidak didengarkan.

Ketika ditanya tentang perjuangannya, Bung Tomo pernah berkata dengan nada getir:

“Saya bukan pahlawan. Pahlawan yang sesungguhnya adalah rakyat kecil yang gugur tanpa nama di Surabaya.”

Kalimat itu menegaskan siapa sebenarnya Bung Tomo. Ia bukan hanya tokoh, ia simbol kerendahan hati dan keberanian moral.

Warisan yang Tak Pernah Padam

Bung Tomo wafat pada 7 Oktober 1981, di Padang Arafah, ketika sedang menunaikan ibadah haji. Ia dimakamkan di tanah kelahirannya, Surabaya — kota yang ia cintai, kota yang ia pertahankan dengan darah dan suara.

Tahun 2008, pemerintah Indonesia secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya. Tapi sebenarnya, rakyat sudah lama menobatkannya jauh sebelum itu. Setiap kali 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan, gema suaranya selalu hidup kembali di udara:

“Allahu Akbar! Merdeka!”

Warisan Bung Tomo bukan hanya keberanian melawan penjajah, tetapi juga pelajaran tentang arti kepemimpinan moral. Ia membuktikan bahwa seorang pemimpin tidak harus kaya, tidak harus berpangkat tinggi, tapi harus memiliki satu hal: keberanian untuk mengatakan kebenaran.

Suara yang Terus Menggema

Kini, Surabaya telah berubah. Gedung-gedung tinggi berdiri di bekas reruntuhan masa lalu. Jalan Tunjungan ramai dengan lampu dan kendaraan. Tapi di hati orang Surabaya, nama Bung Tomo tetap hidup.

Di Taman Makam Pahlawan Ngagel, di depan makamnya, orang-orang sering datang menunduk diam. Mereka bukan sekadar mengenang, tapi mencari kembali suara yang dulu membangkitkan bangsa.

Generasi muda mungkin hanya mengenalnya dari buku teks atau monumen, tapi jika mereka mau mendengar dengan hati, suara Bung Tomo masih ada — di udara, di sejarah, di darah bangsa ini.

Karena Bung Tomo bukan sekadar tokoh masa lalu. Ia adalah roh perlawanan yang abadi.

Bung Tomo dalam Cermin Bangsa

Bung Tomo mengajarkan bahwa kemerdekaan bukan hadiah, melainkan tanggung jawab. Ia juga menunjukkan bahwa patriotisme tidak lahir dari kemarahan, tetapi dari cinta — cinta yang begitu besar kepada tanah air, hingga rela berkorban tanpa syarat.

Di tengah zaman yang serba instan dan penuh kompromi, semangat Bung Tomo terasa semakin relevan. Bangsa ini membutuhkan lebih banyak suara seperti miliknya: keras, jujur, dan tulus.

Ketika korupsi dan ketidakadilan masih bercokol, ketika suara rakyat sering tak terdengar, maka semangat Bung Tomo harus kembali menggema:

“Selama api semangat itu masih ada, bangsa ini tidak akan pernah hancur!”

Epilog: Suara yang Tak Pernah Mati

Bung Tomo mungkin sudah tiada, tapi suaranya abadi. Ia hidup di setiap upacara Hari Pahlawan, di setiap bendera merah putih yang berkibar di sekolah-sekolah, dan di setiap dada anak muda yang berani bermimpi besar untuk bangsanya.

Surabaya 1945 bukan sekadar pertempuran fisik. Ia adalah pertarungan moral antara kebebasan dan ketakutan. Dan Bung Tomo berdiri di garis depan, memimpin bukan dengan senjata, tapi dengan kata-kata — senjata paling kuat yang dimiliki manusia merdeka.

“Tuhan, berikan kami keberanian seperti Bung Tomo, keyakinan seperti rakyat Surabaya,
dan cinta seperti cinta mereka pada Indonesia.”

Karena selama semangat itu masih hidup, Indonesia akan selalu merdeka.

🕊️ “Bung Tomo bukan hanya pahlawan Surabaya. Ia adalah suara nurani bangsa yang membuktikan: sebuah kata yang diucapkan dengan iman dan keberanian bisa mengguncang dunia.”

 

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 1554237597109819775

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Banner untuk Anda

Banner untuk Anda
Anda punya rencana kegiatan yang mau dipublikasikan dalam bentuk banner? Kegiatan apapun, silakan kirim lewat email penulisrulis@gmail.com, dan akan kami terbitkan di halaman ini. Gratis

Workshop Baca Puisi Bagi Guru

Workshop Baca Puisi Bagi Guru
Selengkapnya klik gambar

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close