Ketika yang Muda Merasa Terlambat
Dalam dunia seni, sastra, dan berbagai bentuk kreasi, tidak sedikit anak muda—atau mereka yang menganggap dirinya masih muda—sering merasa tertinggal langkah, seakan panggung telah penuh oleh mereka yang lebih tua atau lebih senior. Ungkapan seperti “sudahlah, urusan karya dan penampilan serahkan saja yang muda,” kadang justru berbalik menjadi tekanan, bukan kesempatan.
Yang muda merasa geraknya terlambat, popularitas dianggap sudah keburu direbut generasi sebelumnya, hingga akhirnya mereka memilih menjadi pasif.
Fenomena ini bukan hal yang baru. Sejak lama, dalam berbagai lintasan sejarah seni, selalu ada pertarungan sunyi antara generasi: yang tua ingin tetap relevan, yang muda ingin mendapat ruang. Namun dalam konteks hari ini—di mana arus informasi bergerak begitu cepat dan eksposur bisa didapat hanya lewat layar kecil—ketegangan itu terasa lebih tajam.
Fenomena Lama yang Muncul dalam Bentuk Baru
Sebenarnya, persoalan antara generasi tua dan muda di dunia kreatif bukan peristiwa musiman. Sejak zaman para maestro di berbagai tradisi—pelukis, penyair, musisi rakyat, pendongeng—ketegangan semacam itu selalu muncul. Yang tua ingin mempertahankan posisi, karena bagi mereka karya adalah identitas. Yang muda ingin melompat lebih tinggi, lebih cepat, karena bagi mereka karya adalah jati diri yang sedang tumbuh.
Bedanya, dulu ruang tampil sangat terbatas. Panggung seni hanya milik kelompok tertentu, nama besar adalah tiket utama. Kini, panggung itu meledak menjadi ribuan: media sosial, platform karya, ruang komunitas, festival kecil hingga besar. Tetapi ironisnya, ruang yang banyak itu tidak selalu membuat yang muda merasa lebih bebas. Mereka justru sering merasa kalah start karena senior lebih dulu dikenal, lebih dulu membangun jaringan, dan lebih dulu mendapat legitimasi publik.
Jadi, persoalannya bukan lagi sekadar ruang fisik, tetapi ruang psikologis: ruang keberanian, ruang percaya diri, ruang untuk merasa berhak berkarya.
Ketika yang Muda Merasa Terhalang
Ada beberapa alasan mengapa banyak anak muda merasa seakan lebih lambat dari seniornya:
- Bayangan nama besar yang menekan
Senior yang telah lama berkarya memiliki reputasi, pengalaman, dan jaringan yang kuat. Bagi yang muda, ini seperti dinding tinggi yang susah ditaklukkan. Mereka merasa apa pun yang dibuat akan selalu dibandingkan dengan karya senior.
- Rasa minder dan perfeksionisme
Banyak anak muda tumbuh dalam budaya yang menuntut kesempurnaan. Alih-alih membuat karya pertama, mereka justru terlalu sibuk memikirkan apakah karyanya sudah “layak.” Ketakutan ini menghambat langkah awal.
- Kurangnya keberanian tampil
Sering kali yang muda menunggu “kesempatan ideal,” padahal kesempatan jarang datang dengan bentuk sempurna. Senior tampak lebih duluan karena mereka pernah memulai lebih awal—kadang dengan kondisi yang tidak ideal juga.
- Sikap sebagian senior yang terlalu dominan
Meski tidak semua, ada senior yang masih merasa panggung adalah hak mereka. Mereka terus berada di depan, menutup ruang bagi yang muda, bahkan tidak jarang memandang karya anak muda sebagai “belum matang.”
Ini membuat sebagian muda merasa lebih baik mundur daripada beradu.
Lalu, Bagaimana Sikap yang Muda?
Anak muda yang merasa tertinggal sebenarnya hanya butuh satu hal: mulai. Karena proses kreatif tidak memiliki garis finis, tidak ada yang benar-benar terlambat. Yang ada hanya mereka yang berani dan mereka yang terlalu lama menunda.
Beberapa sikap penting bagi generasi muda:
- Menyadari bahwa kreativitas bukan lomba lari
Tidak ada usia paling tepat untuk berkarya. Banyak sastrawan, pelukis, musisi hebat yang justru menemukan gaya terbaiknya di usia matang. Kreativitas bukan perkara cepat atau lambat, tetapi perkara menemukan suara personal.
- Berkarya secara konsisten, bukan musiman
Karya adalah perjalanan panjang. Senior tampak lebih mentereng bukan hanya karena bakat, tetapi karena konsistensi. Anak muda perlu membangun kebiasaan berkarya, bukan hanya menunggu inspirasi.
- Berani mengambil ruang
Ruang itu tidak selalu diberikan—sering harus diambil. Anak muda berhak hadir, berhak tampil, berhak salah, berhak mencoba. Tidak perlu menunggu izin siapa pun untuk mulai menulis, menggambar, menari, atau membuat musik.
- Memanfaatkan kelebihan generasi sendiri
Generasi muda punya kekuatan yang tidak dimiliki generasi sebelumnya: kecepatan adaptasi, pemahaman teknologi, dan akses luas pada audiens baru. Inilah modal besar yang bisa membuat mereka melampaui seniornya.
- Tidak terjebak pada bayang-bayang senior
Menghormati bukan berarti mengidolakan hingga kehilangan identitas. Senior bisa jadi inspirasi, tetapi tidak harus menjadi tujuan meniru. Karya-karya baru justru lahir dari keberanian untuk berbeda.
Sikap yang Tua atau Senior: Belajar untuk Menepi pada Waktunya
Senior punya peran penting dalam ekosistem kreatif, tetapi peran itu tidak selalu harus berada di panggung utama. Dalam dunia kreatif, usia karya bukan usia biologis, melainkan kedalaman pengalaman. Karenanya, tugas senior bukan mempertahankan panggung untuk diri sendiri, tetapi memastikan panggung tetap ada untuk generasi berikutnya.
Beberapa sikap yang ideal bagi senior:
- Menyadari bahwa karya adalah urusan personal
Karya bukan soal senioritas. Siapa pun boleh tampil saat siap. Senior tidak perlu merasa punya hak lebih hanya karena pengalaman panjang. Kreativitas tidak mengenal hierarki usia.
- Memberi ruang, bukan untuk diserahkan, tetapi dibuka
Senior tidak harus berhenti berkarya—mereka hanya tidak perlu menguasai semua ruang. Dengan membuka akses, memberi mentoring, atau sekadar memberi panggung untuk tampil bersama, mereka menumbuhkan ekosistem yang sehat.
- Menghindari sikap “penjaga tradisi” yang terlalu kaku
Kadang seni berkembang justru karena keberanian generasi baru mengguncang tradisi. Senior perlu memahami bahwa setiap zaman punya bahasa kreatifnya sendiri.
- Menjadi teladan bukan hanya dalam karya, tetapi dalam sikap
Teladan terbaik dari senior adalah kemampuan menerima dinamika zaman dan menempatkan diri sesuai kebutuhan, bukan sesuai ego.
Karya Sebagai Ruang Perjumpaan, Bukan Perebutan
Seni dan sastra seharusnya menjadi ruang untuk saling bertemu, bukan saling menyingkirkan. Panggung kreatif cukup luas untuk semua generasi. Yang tua punya kedalaman, yang muda punya energi. Keduanya dibutuhkan untuk menjaga hidupnya ekosistem kreatif.
Perjumpaan ini bukan tentang siapa lebih duluan, siapa lebih terkenal, atau siapa lebih berhak, tetapi tentang bagaimana masing-masing menemukan suaranya dan membiarkan suara itu tumbuh tanpa dibungkam.
Tidak Ada yang Terlambat dalam Dunia Karya
Ketika yang muda berkata, “sudahlah, serahkan saja ke yang muda,” itu sebenarnya adalah bentuk kelelahan mental—bukan karena kurang bakat, tetapi karena merasa kalah sejak awal.
Padahal kreativitas tidak pernah mengenal kata terlambat. Yang terlambat adalah mereka yang berhenti mencoba. Senior boleh terus berkarya. Muda boleh terus mengejar. Yang penting, setiap orang tahu bahwa karya adalah urusan personal, bukan urusan usia.
Pada akhirnya, generasi muda tidak perlu menunggu senior berhenti untuk mulai bersinar. Dan senior tidak perlu merasa menjaga panggung sendirian.
Dunia kreatif akan terus hidup bila setiap generasi berjalan bersama:
yang tua memberi arah, yang muda memberi tenaga, dan karya menjadi ruang tumbuh bagi semua.
Pilihan





