Antara Ketidaktahuan dan Kesombongan: Ujian Kesabaran Manusia


Kesabaran sering kali diuji ketika kita berhadapan dengan ketidaktahuan. Kebodohan yang lahir dari ketidaktahuan masih bisa dimaklumi, karena setiap orang pernah berada pada tahap belajar. Tidak ada manusia yang sejak lahir langsung memahami dunia dengan sempurna. Kita semua memulai dari titik nol, dari rasa ingin tahu yang polos, dari kesalahan demi kesalahan yang perlahan membentuk pemahaman. Dalam proses hidup, tidak semua orang langsung paham, dan itu adalah bagian wajar dari perjalanan manusia.

Ketidaktahuan adalah ruang kosong yang menunggu diisi. Ia bukan dosa, bukan pula aib. Bahkan, ia sering menjadi pintu awal menuju pengetahuan yang lebih luas. Seorang anak yang bertanya tentang hujan, seorang murid yang keliru menjawab soal, atau seorang dewasa yang salah menafsirkan keadaan—semuanya adalah contoh ketidaktahuan yang manusiawi. Di situlah pendidikan, dialog, dan pengalaman menemukan perannya. Kesabaran hadir sebagai jembatan, memungkinkan proses belajar berlangsung tanpa rasa takut atau malu.

Namun, masalah menjadi berbeda ketika kebodohan justru dipamerkan dengan rasa bangga. Saat seseorang menolak belajar, menutup telinga dari nasihat, dan merasa paling benar tanpa dasar, di situlah kesabaran mulai terkuras. Bukan karena ia tidak tahu, tetapi karena ia memilih untuk tidak mau tahu. Pilihan inilah yang mengubah ketidaktahuan menjadi kebodohan yang keras kepala, kebodohan yang menolak disentuh oleh cahaya pengetahuan.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap menjumpai tipe manusia semacam ini. Mereka yang dengan lantang berbicara meski dangkal pemahamannya, mereka yang lebih suka berdebat daripada mendengarkan, dan mereka yang menganggap kritik sebagai serangan pribadi. Anehnya, kebodohan semacam ini sering tampil percaya diri. Ia mengenakan topeng keyakinan, seolah-olah suara yang paling keras adalah suara yang paling benar.

Di era media sosial, fenomena ini semakin mencolok. Informasi berseliweran tanpa saringan, opini diproduksi massal tanpa tanggung jawab, dan kebodohan menemukan panggungnya. Seseorang bisa menjadi “ahli” hanya karena memiliki pengikut, bukan karena memiliki pemahaman. Ketika kebodohan mendapat tepuk tangan, ia tumbuh subur. Dan ketika ia tumbuh subur, kesabaran orang-orang yang masih mau berpikir pun perlahan terkikis.

Kesabaran, pada titik tertentu, bukan lagi soal kemampuan menahan emosi, melainkan soal batas kewarasan. Berhadapan dengan orang yang mau belajar membutuhkan waktu dan empati. Tetapi berhadapan dengan orang yang sengaja menutup diri membutuhkan energi yang jauh lebih besar. Kita tidak hanya harus menjelaskan, tetapi juga harus menembus tembok ego yang tebal. Tidak jarang, upaya itu berakhir sia-sia.

Filsafat hidup mengajarkan bahwa kerendahan hati adalah pintu menuju kebijaksanaan. Socrates, misalnya, dikenal dengan pernyataannya yang sederhana namun radikal: bahwa ia bijak karena ia tahu bahwa ia tidak tahu. Kesadaran akan keterbatasan diri justru menjadi kekuatan. Orang yang sadar akan ketidaktahuannya akan terus belajar dan bertumbuh. Ia tidak takut salah, karena kesalahan adalah guru. Ia tidak alergi terhadap kritik, karena kritik adalah cermin.

Sebaliknya, mereka yang membanggakan kebodohan hanya akan berhenti di tempat yang sama, sementara dunia terus bergerak maju. Mereka menolak perubahan, mencurigai pengetahuan baru, dan bersembunyi di balik keyakinan lama yang belum tentu benar. Dalam kejumudan itu, mereka merasa aman. Padahal, yang mereka sebut aman sering kali hanyalah ketakutan untuk menghadapi kenyataan yang lebih kompleks.

Ada ironi yang menyedihkan di sini. Semakin terbatas pengetahuan seseorang, sering kali semakin besar rasa percaya dirinya. Fenomena ini menunjukkan bahwa kebodohan tidak hanya soal tidak tahu, tetapi juga soal ilusi tahu. Seseorang merasa paham padahal ia hanya menguasai permukaan. Ia menolak menyelam lebih dalam karena takut menemukan bahwa dasar keyakinannya rapuh.

Kesabaran kita, pada akhirnya, juga perlu diarahkan ke dalam diri sendiri. Sampai sejauh mana kita harus bersabar? Apakah semua kebodohan harus ditoleransi? Di sinilah kebijaksanaan diuji. Kesabaran bukan berarti membiarkan kesalahan terus berulang tanpa koreksi. Kesabaran juga bukan berarti menyerahkan akal sehat demi menjaga kenyamanan semu. Ada saatnya kita harus memilih diam, bukan karena kalah, tetapi karena sadar bahwa tidak semua perdebatan layak diperjuangkan.

Memilih diam bukan berarti setuju. Kadang, diam adalah bentuk tertinggi dari kesadaran: kesadaran bahwa energi kita lebih baik digunakan untuk hal-hal yang produktif, untuk belajar lebih jauh, untuk memperbaiki diri, dan untuk membangun ruang-ruang dialog yang sehat. Tidak semua orang siap diajak berpikir, dan tidak semua kebenaran harus disampaikan pada mereka yang menutup telinga.

Namun, diam juga tidak boleh berubah menjadi apatis. Dunia tidak akan menjadi tempat yang lebih baik jika orang-orang yang berpikir memilih sepenuhnya mundur. Tantangannya adalah menemukan keseimbangan: kapan harus bersuara, kapan harus mendengarkan, dan kapan harus berhenti. Di sinilah kebijaksanaan bekerja, bukan sebagai rumus pasti, tetapi sebagai kepekaan terhadap konteks.

Kesabaran terhadap ketidaktahuan adalah bentuk kasih sayang. Ia mengakui bahwa manusia sedang belajar. Tetapi kesabaran terhadap kebodohan yang dipelihara dengan sengaja sering kali justru melanggengkan masalah. Ketika kebodohan dibiarkan tanpa tantangan, ia bisa berubah menjadi kekuatan destruktif—merusak dialog, memecah komunitas, bahkan menyesatkan banyak orang.

Maka, mungkin yang perlu kita rawat bukan hanya kesabaran, tetapi juga keberanian. Keberanian untuk mengatakan “cukup”, keberanian untuk tidak terjebak dalam perdebatan yang tidak sehat, dan keberanian untuk terus belajar meski lingkungan tidak selalu mendukung. Keberanian ini lahir dari kesadaran bahwa hidup terlalu singkat untuk dihabiskan melayani kebodohan yang enggan berubah.

Pada akhirnya, ukuran kebijaksanaan seseorang tidak terletak pada seberapa banyak ia berbicara, tetapi pada seberapa dalam ia mau mendengarkan dan belajar. Dunia bergerak maju karena orang-orang yang rendah hati, bukan karena mereka yang paling lantang. Kesabaran menemukan maknanya ketika ia bertemu dengan kemauan untuk tumbuh. Tanpa itu, kesabaran hanya akan menjadi beban yang melelahkan.

Dan barangkali, tugas terbesar kita sebagai manusia bukanlah membuktikan bahwa kita paling benar, melainkan menjaga agar akal sehat tetap hidup—di tengah kebisingan, di tengah kesombongan, dan di tengah kebodohan yang sering kali tampil dengan wajah paling percaya diri.

(Rulis)


Pilihan

Tulisan terkait

Utama 5886982434517000371

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Banner untuk Anda

Banner untuk Anda
Anda punya rencana kegiatan yang mau dipublikasikan dalam bentuk banner? Kegiatan apapun, silakan kirim lewat email penulisrulis@gmail.com, dan akan kami terbitkan di halaman ini. Gratis

Workshop Baca Puisi Bagi Guru

Workshop Baca Puisi Bagi Guru
Selengkapnya klik gambar

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close