“Cung-Kuncung Konce”, Pesan Seksual Untuk Pengantin Baru


Oleh: Lilik Rosida Irmawati

Cung-Kuncung Konce

(Sebuah Kajian Syair, Permainan Tradisi, dan Nilai-Nilai Moral Masyarakat Madura)

Teks Syair

Cung-kuncung kunce
Koncena lo-olowan
Sabanyong saketheng
Na’kana’ marking-markung
Baba’anna kapung-kapung
Ngek-serngeggan, rut-suruddan
Pangantan tao abajang
Pabajanggnga ketha’ keddung
Ondurragi jung baba’an

Cung-kuncung kolor
Kolorra bintang kangkong
Sater-oler sakomancer
Bibidanna tajin jaba
Lali lana lali lanthung
Ondurragi jung-baba’an

Cung acung lerengan
Kkembang ala’ kembang aling
Taruttut onta-onta
Pamakona kaju sentik
Ondur setthong jung baba’an

Cung acung lerengan, pettha tale lempung
Buwana apung-apung, ta’ ngok-serngogan
Ta’ ngek-serngegan, jumantre-jumantre
Nangga’a bajang
Bajangnga kethak kedhung
Ondurragi jung baba’an

Terjemahan Bebas Bait Pertama

Cuncung-cuncung kunci,
kuncinya beruas-ruas.
Sebuku dan seruas,
anak-anak duduk santai,
di bawah pohon kapuk,
tertawa cekikikan,
sang pengantin sedang sembahyang,
sembahyang sekadar gerak,
belum sungguh-sungguh.

Bentuk Permainan Tradisional

Pada masa lalu, Cung-Kuncung Konce dimainkan oleh anak-anak setelah acara pernikahan selesai, terutama pada malam hari saat suasana kampung masih hangat oleh riuh kerabat. Anak-anak duduk bergerombol, biasanya dua hingga empat orang, dan memainkan permainan ini sambil menyanyikan syairnya. Tradisi ini bukan sekadar permainan, tetapi juga penanda sosial: lagu itu menandakan bahwa sang pengantin telah memasuki bilik peraduan.

Permainan dilakukan dengan cara sebagai berikut:

  1. Dua anak duduk berhadapan.
  2. Jempol tangan kiri ditegakkan, sementara empat jari lainnya menggenggam.
  3. Tangan kanan menggenggam jempol kiri, dan jempol kanan ditegakkan.
  4. Anak berikutnya meletakkan tangan di atas tangan anak pertama dengan posisi yang sama.
  5. Tangan-tangan itu bertumpuk hingga semua anak membentuk menara tangan yang unik.
  6. Mereka kemudian menyanyikan syair Cung-Kuncung Konce sambil menggoyang-goyangkan tumpukan tangan secara serempak.

Pada bait terakhir, ketika kalimat "ondurragi jung baba’an" dilafalkan, telapak tangan paling bawah dibalik hingga tertelungkup. Lagu diulang berkali-kali, tangan dibalik satu per satu, sampai seluruh tumpukan menghadap ke bawah. Setelah itu terdapat dua variasi permainan:

  • tangan paling atas memukul perlahan tangan di bawahnya, lalu seterusnya; atau
  • tangan paling atas mengambil tangan bawah dan meletakkannya di atas kepala masing-masing anak sebagai “simbol kekalahan”.

Dari luar, permainan ini tampak sederhana, tetapi ia menyimpan jejak sejarah, simbol-simbol budaya, bahkan tafsir moral yang dapat dibaca berlapis-lapis.

Makna Umum Syair Cung-Kuncung Konce

Dalam masyarakat, syair ini kerap dikaitkan dengan tema seksual. Hal ini disebabkan oleh posisi tangan yang tumpang-tindih dan digoyang-goyangkan, sehingga dianggap menyerupai gerakan persetubuhan. Penafsiran ini semakin kuat dengan keberadaan kata “lo-olowan”, yang diterjemahkan sebagai “lelah atau kepayahan sampai tertidur”—dalam konteks pesta pernikahan, tentu dapat diasosiasikan dengan aktivitas pengantin yang baru memasuki kehidupan rumah tangga.

Namun demikian, penafsiran tersebut sesungguhnya hanyalah satu lapisan makna paling permukaan. Jika ditelusuri lebih dalam, syair Cung-Kuncung Konce menyimpan pesan moral dan filosofi spiritual yang jauh lebih kaya. Syair ini merupakan pantulan cara masyarakat Madura mengajarkan tata krama, etika sosial, dan sikap keberagamaan—terkadang melalui sindiran halus yang dibungkus permainan anak.

Makna Khusus: Pesan Moral dan Nilai Filosofi

Meskipun sering dipahami secara nakal oleh sebagian masyarakat, sesungguhnya syair ini memiliki bangunan nilai yang sangat kuat, terutama pada bait pertama. Bait-bait selanjutnya berfungsi memperhalus ritme, menambah musikalitas, sekaligus menjaga kesinambungan tradisi lisan agar mudah dinyanyikan dan diingat.

  1. Etika dan Tata Krama sebagai Inti Masyarakat

Pada bait pertama, terutama pada baris:
Na’kana’ marking-markung / Baba’anna kapung-kapung / Ngek-serngeggan, rut-suruddan,

tersirat gambaran tentang anak-anak yang duduk santai, cekikikan, dan tidak menunjukkan sikap hormat ketika ada orang sedang melaksanakan ibadah. Ini menjadi kritik terhadap perilaku yang dianggap tidak tahu sopan santun.

Di tengah masyarakat Madura, etika dan tata krama merupakan fondasi utama dalam pergaulan. Penghormatan kepada orang yang sedang beribadah adalah bagian penting dari budaya tersebut. Karena itu, adegan anak-anak yang duduk dan tertawa tanpa memedulikan suasana ibadah adalah simbol dari perilaku tercela yang perlu diperbaiki.

Syair ini menyentil bahwa siapa pun, tidak peduli status sosialnya, tidak akan dihormati jika gagal menunjukkan budi pekerti yang baik. Sopan santun lebih penting daripada gelar atau martabat. Ia menjadi ukuran kepribadian seseorang dalam kehidupan sosial.

  1. Kritik terhadap Keberagamaan yang Setengah Hati

Bagian syair:

Pangantan tao abajang / Pabajanggnga ketha’ keddung
(sang pengantin sedang sembahyang / sembahyang asal gerak)

mengandung kritik yang sangat halus namun tajam. Ini menggambarkan seseorang yang menjalankan ibadah sekadar menggugurkan kewajiban, tanpa pemahaman, tanpa penghayatan, tanpa kesungguhan hati. Shalat dilakukan seadanya, tidak lebih dari ritual mekanis.

Dalam tradisi Islam, shalat lima waktu disebut sebagai tiang agama. Apabila seorang Muslim melaksanakannya dengan benar, maka ibadah itu akan membentuk pribadi yang kuat, disiplin, dan bermoral. Sebaliknya, shalat yang dilakukan sekadarnya hanya menjadikan agama sebagai identitas simbolik belaka—tanpa dampak nyata pada perilaku sehari-hari.

Syair ini hendak menegur, agar umat tidak menggunakan agama hanya sebagai atribut sosial. Ia menolak keberagamaan yang hanya tampak di permukaan tetapi kosong dari nilai.

  1. Agama Sebagai Pondasi Kehidupan

Sebagaimana bangunan kokoh memerlukan pondasi kuat, demikian pula kehidupan beragama. Manusia yang hanya menjalankan ritual tanpa pemahaman ibarat rumah yang berdiri di atas tanah rapuh—mudah goyah, mudah pecah, mudah roboh saat diuji.

Syair Cung-Kuncung Konce mengingatkan bahwa ibadah bukan sekadar hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan. Ia juga harus tercermin pada tingkah laku sosial: kejujuran, amanah, kasih sayang, penghormatan terhadap sesama, dan pengendalian diri.

Cacatnya perilaku—seperti mengabaikan ibadah, menghina orang yang sedang beribadah, berjudi, mencuri, atau berbuat maksiat—merupakan tanda bahwa nilai agama tidak pernah benar-benar masuk ke dalam jiwa.

Dengan demikian, syair ini bukan hanya kritik, tetapi juga ajakan untuk kembali memaknai ibadah sebagai jalan membangun diri dan masyarakat.

Syair sebagai Pengingat Nilai Spiritualitas

Syair Cung-Kuncung Konce mengandung pesan agar shalat dilakukan dengan kesungguhan. Shalat yang benar akan membentuk kepribadian yang matang dan kokoh. Dengan menjaga hubungan spiritual yang baik, manusia dapat menghadapi berbagai masalah kehidupan dengan lebih bijaksana.

Syair ini berfungsi sebagai alarm moral:

  • Jangan jadikan ibadah hanya sebagai gerakan fisik.
  • Jangan jadikan agama sekadar identitas sosial.
  • Jangan jadikan shalat sebagai ritual kosong tanpa makna.

Ibadah seharusnya mempengaruhi perilaku, membentuk akhlak, dan menciptakan keharmonisan hidup di tengah masyarakat.

Penutup: Cung-Kuncung Konce dalam Bingkai Budaya

Cung-Kuncung Konce bukan sekadar permainan anak, bukan pula sekadar lagu yang dinyanyikan saat pesta pernikahan. Ia adalah teks budaya yang menyimpan warisan nilai-nilai etika, kritik sosial, dan ajaran spiritual. Cara penyampaiannya halus, dibungkus permainan yang menyenangkan, sehingga anak-anak menghafalnya sejak kecil tanpa sadar mempelajari pesan moral di baliknya.

Tradisi seperti ini menunjukkan kecerdasan budaya masyarakat Madura dalam menanamkan akhlak melalui media yang paling mudah diterima: permainan, nyanyian, dan komunitas. Sebuah cara turun-temurun yang sederhana, namun penuh makna.

Syair ini mengingatkan bahwa:

  • ritual harus disertai penghayatan,
  • sopan santun adalah pondasi masyarakat,
  • agama bukan sekadar simbol,
  • dan ibadah adalah jalan menuju kedewasaan jiwa.

Dengan memahami warisan ini, kita tidak hanya melestarikan permainan tradisional, tetapi juga merawat nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya agar tetap hidup dalam kehidupan generasi yang akan datang.

 

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 8102119442387552015

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Banner untuk Anda

Banner untuk Anda
Anda punya rencana kegiatan yang mau dipublikasikan dalam bentuk banner? Kegiatan apapun, silakan kirim lewat email penulisrulis@gmail.com, dan akan kami terbitkan di halaman ini. Gratis

Puisi Lawas Syaf Anton Wr

Puisi Lawas Syaf Anton Wr
Puisi-puisi ini ditulis pada tahun 80-an, dan telah terbit di sejumlah media cetak pada tahun yang sama. Sebagian juga telah terbit dalam buku kumpulan puisi tunggal “Cermin” (1983) - Selengkapnya klik ganbar

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close