Jodoh yang Tertunda


Cerpen:  Yuliana Hamisatul Laili

Rangga memandangi kamar pengantinnya. Nuansa merah jambu memenuhi seluruh ruangan. Aroma bunga sedap malam, melati dan mawar bercampur menjadi satu.Seharusnya kamar pengantin ini beraroma dupa khas pengantin. Tapi Laura menolak menggunakan dupa pengantin untuk kamarnya. Entah kenapa, Laura tidak bisa mencium aroma yang terlalu menusuk, pusing katanya. Akhirnya digantilah dengan aroma berbagai macam bunga yang memenuhi kamar pengantin ini.

Rangga menoleh pada Laura yang kini sudah sah menjadi istrinya. Dilihatnya istrinya tertidur pulas setelah menikmati malam pertama mereka. Hasrat yang sudah lama terpendam tersalurkan sudah. Dielusnya pipi istrinya dan diciumnya dengan lembut kening istrinya itu.

Acara pernikahan sehari penuh itu benar-benar menguras seluruh tenaga. Apalagi setelah masuk kamar, Rangga langsung melaksanakan kewajibannya sebagai seorang suami. Keinginan lima  tahun lalu sudah ia curahkan malam ini. Laura hanya tersipu malu ketika Rangga melucuti pakaiannya satu-persatu. Akibatnya, setelah itu Laura langsung tertidur kelelahan di samping Rangga.

***

Perkenalan antara Rangga dan Laura berawal dari pertemuan yang tak disengaja di antrean klinik seorang dokter. Laura saat itu sedang mengantar ibunya yang sakit, sedang Rangga saat itu sedang batuk dan flu berat. Beberapa kali Rangga batuk dan bersin. Karena merasa kasihan, Laura memintakan tissue untuk Rangga pada perawat penjaga di sana.

Setelah itu seperti air yang mengalir, mereka berkenalan dan saling tukar nomor telepon. Rangga tiba-tiba saja merasa batuk dan flu beratnya sembuh seketika, ketika akhirnya berbincang-bincang dengan Laura. Perkenalan itupun berlanjut. Hampir setiap hari Rangga dan Laura saling menelepon. Dan sudah beberapa kali mereka makan bersama. Dan malam inipun, mereka berjanji untuk berjalan bersama.

“Laura...tumben kamu ngajak aku keluar? Biasanya aku duluan yang ngajakin kamu”. Rangga memulai percakapan sambil menikmati segelas minuman dingin. Laura tidak segera menjawab pertanyaan Rangga, dia hanya mengaduk-aduk minumannya. Terdiam dengan wajah murung. Rangga mulai penasaran dengan tingkah Laura yang aneh. Tidak biasanya dia seperti ini. Laura anak yang periang dan ceria. Tapi malam ini, tak terlihat senyum manis di wajahnya itu.

“Aku akan menikah, Mas” kata Laura lemah. Dan kalimat itu seperti petir yang menampar tubuhku. Tiba-tiba saja hatiku sakit, kaget dengan perkataan Laura barusan.

“Apa yang kau katakan itu benar, Laura? Mengapa selama ini kamu tidak pernah bercerita padaku?” Rangga bertanya masih dengan rasa tak percaya.

Aku tidak pernah bercerita, karena aku tidak menginginkan perjodohan ini, Mas” Isaknya pelan.

“Aku sudah dijodohkan oleh orang tuaku sejak kami masih sama-sama berada di dalam kandungan. Dan sebenarnya kami tidak pernah setuju dengan perjodohan ini” Sejak pertemuan malam itu kami memutuskan tak akan pernah bertemu lagi.

***

Lima tahun kemudian.

Rangga sedang berjalan sendiri menikmati udara sore di pinggir pantai yang tak jauh dari rumahnya. Rumah yang sudah hampir lima tahun ini dia tinggali besama keluarganya. Dia senang sekali menghabiskan waktu di sore hari, hanya sekedar berkeliling-keliling ataupun sekedar duduk-duduk di pasir putih yang bersih ini. Sudah lima tahun kebiasaan ini menemaninya tiap sore.

Kali ini, dia memilih duduk hampir menyentuh bibir air di pantai itu. Dibiarkannya sebagian celana jeans yang dia kenakan terpercik air laut. Tak jauh di sebelah kanan Rangga, duduk seorang wanita, sendirian. Pandangan Rangga terpaku pada wanita itu. Aneh, seorang wanita sendirian pergi ke pantai. Merasa ada yang memerhatikan, wanita itu menoleh ke arah Rangga.

“Mas Rangga...” Wanita itu berteriak tertahan. Sementara Rangga masih bertanya-tanya siapakah sosok wanita yang memanggilnya itu.

“Mas Rangga... Aku Laura, Mas. Apa mas Rangga sudah lupa padaku?” Wanita itu menghampiri Rangga yang hanya berdiri tertegun. Antara percaya dan tidak wanita yang selama lima tahun ini tak pernah bisa dia lupakan, yang menyebabkan dia memutuskan untuk pindah ke dekat pantai ini, kini berdiri tepat di depannya.

“Laura, mengapa kamu sendirian di sini? Mana suamimu?mengapa dia tidak menemanimu?”Sambil mengedarkan pandangan ke sekitar pantai, Rangga memberondong Laura dengan pertanyaan.

“Pernikahanku tidak didasari dengan perasaan suka, Mas. Dan hanya bertahan setahun. Ternyata suamiku sudah punya pacar sebelumnya, diam-diam dia menikah lagi. Dan aku lebih memilih bercerai dengannya”. Cerita Laura panjang.

“Mas Rangga, bagaimana denganmu? Apakah kamu sudah menikah juga, mas? Empat tahun aku mencarimu, Mas. Kudatangi rumahmu yang dulu. Tapi kata tetangga kamu sudah lama pindah rumah. Aku merasa putus asa. Seringkali di sore hari aku pergi ke pantai ini untuk menenangkan hati. Aku merasa tak akan bisa kembali lagi padamu”. Laura bercerita sambil menangis. Rangga hanya terdiam pilu, tak mampu menjawab pertanyaan Laura.

“Mas Rangga, apa masih ada ruang dihatimu untukku, Mas?” Laura kembali bertanya pada Rangga. Rangga hanya menatap dalam-dalam wajah di depannya itu. Wajah yang tak mampu dia lupakan walau waktu telah berjalan selama lima tahun. Rangga memeluk Laura dengan erat. Seakan-akan dia tak ingin melepaskan Laura untuk kedua kalinya.

“Aku memikirkanmu selama lima tahun ini, Laura. Kupikir kau tak akan pernah kumiliki,” bisik Rangga sambil mempererat dekapannya pada Laura.

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 8153743113307764580

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Banner untuk Anda

Banner untuk Anda
Anda punya rencana kegiatan yang mau dipublikasikan dalam bentuk banner? Kegiatan apapun, silakan kirim lewat email penulisrulis@gmail.com, dan akan kami terbitkan di halaman ini. Gratis

Puisi Lawas Syaf Anton Wr

Puisi Lawas Syaf Anton Wr
Puisi-puisi ini ditulis pada tahun 80-an, dan telah terbit di sejumlah media cetak pada tahun yang sama. Sebagian juga telah terbit dalam buku kumpulan puisi tunggal “Cermin” (1983) - Selengkapnya klik ganbar

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close