Di Tengah Banjir Kuala Simpang, Nurani Mengalahkan Vonis
Sebuah kisah tentang banjir besar di Aceh Tamiang yang mempertemukan seorang hakim dan para narapidana dalam situasi hidup dan mati. Ketika hukum, status, dan masa lalu tak lagi punya arti, kemanusiaan justru muncul dari tempat yang tak terduga.
*****
Hujan turun tanpa jeda sejak akhir November 2025. Bukan hujan biasa yang datang lalu pergi, melainkan hujan yang seolah kehilangan niat untuk berhenti. Langit di atas Kuala Simpang berwarna abu-abu pekat, berat, seperti memikul beban yang terlalu lama disimpan. Air jatuh dari langit dengan suara yang terus-menerus, menghantam atap seng, halaman kantor, dan jalanan, lalu mengalir menuju tempat-tempat yang tak pernah disiapkan untuk menampungnya.
Hakim Kisty Widyastuti awalnya mengira ini hanya banjir musiman. Ia sudah cukup lama bertugas di Aceh Tamiang untuk tahu bahwa hujan lebat bukan hal asing. Namun pagi itu, saat ia tiba di Pengadilan Negeri Kuala Simpang, sesuatu terasa berbeda. Air di halaman kantor tidak sekadar menggenang; ia bergerak. Mengalir deras, membawa ranting, daun, bahkan potongan kayu yang entah berasal dari mana.
Dalam hitungan jam, lantai satu gedung pengadilan terendam. Arsip-arsip yang biasanya tersimpan rapi mulai dipindahkan ke tempat lebih tinggi. Bau lumpur bercampur kertas basah memenuhi ruangan. Di luar, suara hujan berpadu dengan teriakan orang-orang yang mencoba menyelamatkan barang-barang mereka. Air terus naik, seolah tidak peduli pada kepanikan yang ditinggalkannya.
Rumah dinas tempat Kisty tinggal pun bernasib sama. Air masuk melalui pintu, merayap ke ruang tamu, dapur, hingga kamar tidur. Tidak ada waktu untuk menyelamatkan banyak hal. Yang terpenting adalah bertahan hidup.
Menjelang siang, air sudah setinggi dada orang dewasa. Arusnya kuat, dingin, dan berbahaya. Kisty bersama beberapa rekan hakim menyadari bahwa bertahan di gedung pengadilan atau rumah dinas bukan lagi pilihan. Mereka harus keluar. Masalahnya, keluar ke mana?
Langkah mereka terhenti ketika arus semakin deras. Setiap langkah terasa seperti pertaruhan. Satu kesalahan kecil bisa membuat tubuh terseret, terbentur, lalu tenggelam. Dalam situasi itu, rasa takut menjadi sesuatu yang sangat nyata—bukan ketakutan abstrak, melainkan ketakutan yang menempel di kulit, di dada, di napas yang mulai terengah.
Di tengah kebingungan itulah mereka melihat empat orang mendekat. Pakaian mereka basah, sederhana, dan jelas bukan pakaian bebas. Seragam warga binaan. Empat narapidana yang juga terjebak oleh banjir besar yang sama.
Sekilas, naluri lama Kisty muncul. Naluri seorang hakim. Naluri untuk menjaga jarak, untuk tetap berada di posisi yang jelas antara “penegak hukum” dan “yang dijatuhi hukum”. Salah satu wajah di antara empat itu terasa familiar. Ia mengenal wajah itu bukan dari perkenalan, melainkan dari ruang sidang. Dari berkas perkara pencurian sawit yang pernah ia tangani beberapa bulan sebelumnya. Dari palu hakim yang pernah diketukkannya.
Keraguan muncul. Cepat, singkat, tapi nyata. Di benaknya melintas batas-batas peran yang selama ini ia pegang teguh. Namun air yang sudah seleher, arus yang semakin liar, dan waktu yang makin sempit segera menyingkirkan semua pertimbangan itu.
Salah satu dari empat narapidana itu berbicara. Suaranya tegas, tanpa nada menantang, tanpa dendam.
“Air sudah seleher. Kalau mau keluar, ikut kami.”
Kalimat itu sederhana, nyaris datar. Tidak ada permintaan maaf, tidak ada penjelasan masa lalu. Hanya peringatan dan ajakan untuk bertahan hidup.
Mereka bergerak bersama. Empat narapidana itu berjalan di depan, menembus air yang deras, menunjukkan jalur yang relatif aman. Mereka tahu ke mana harus melangkah, kapan harus berhenti, kapan harus memutar. Di kejauhan, sebuah perahu evakuasi terlihat, terombang-ambing menunggu siapa pun yang berani mendekat.
Saat sampai di perahu, para narapidana itu membantu satu per satu naik. Tangan-tangan yang selama ini hanya dikenal Kisty sebagai tangan terdakwa, kini menjadi tangan penolong. Tidak ada kata-kata besar. Hanya gerakan cepat, fokus, dan penuh kehati-hatian.
Di atas perahu, saat mesin mulai menyala dan menjauh dari arus paling berbahaya, Kisty duduk terdiam. Hujan masih turun, air masih naik di banyak tempat, tapi di titik itu ia sadar bahwa mereka baru saja melewati batas paling genting antara hidup dan mati.
Namun keselamatan ternyata bukan akhir dari ujian.
Perahu membawa mereka ke sebuah ruko yang dijadikan tempat pengungsian sementara. Puluhan orang sudah ada di sana—wajah-wajah lelah, pakaian basah, mata yang menyimpan kecemasan. Bantuan belum bisa masuk. Jalan terputus. Sungai meluap. Tidak ada kepastian kapan makanan atau logistik akan datang.
Tiga hari dua malam mereka bertahan di sana.
Makanan menjadi sesuatu yang sangat berharga. Mi instan yang biasanya dianggap remeh kini diremas kering, dibagi kecil-kecil agar semua kebagian. Tidak ada yang makan sampai kenyang. Hanya cukup agar tubuh tidak roboh. Air minum dibatasi. Setiap tegukan diperhitungkan.
Di malam hari, suara hujan kembali terdengar, menghantam atap ruko. Beberapa orang menangis pelan. Yang lain hanya diam, memeluk lutut, menunggu pagi yang entah seperti apa. Kisty merasakan kelelahan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—kelelahan fisik dan batin. Ia bukan lagi hakim di ruang sidang yang tenang dan ber-AC. Ia hanya manusia yang lapar, dingin, dan takut.
Di tempat itu, semua peran runtuh. Tidak ada hakim, tidak ada narapidana, tidak ada jabatan. Yang ada hanya orang-orang yang sama-sama kehilangan rumah sementara, sama-sama ingin selamat, sama-sama berharap air segera surut.
Saat akhirnya air mulai turun, perjalanan belum selesai. Mereka harus bergerak keluar dari daerah terdampak. Dengan truk, dengan perahu tradisional, menembus sungai yang masih deras dan penuh sisa banjir. Perjalanan panjang, melelahkan, tapi membawa harapan.
Ketika Kisty akhirnya tiba di luar wilayah banjir dan kemudian kembali ke Medan, tubuhnya selamat, tetapi pikirannya penuh. Peristiwa itu terus berulang di kepalanya—tentang hujan, tentang air yang naik cepat, tentang tangan-tangan yang menolong tanpa bertanya masa lalu.
Media kemudian menulis kisah ini. Bukan sebagai cerita aneh atau sensasional, melainkan sebagai potret solidaritas manusia di tengah bencana. Tentang seorang hakim yang pernah menjatuhkan vonis, dan tentang narapidana yang memilih menolong tanpa menyebut masa lalu.
Bagi Kisty, kisah itu lebih dari sekadar berita. Itu adalah pengingat yang menancap dalam. Bahwa di hadapan alam, semua manusia rapuh. Bahwa hukum, status, dan seragam bisa hilang maknanya dalam sekejap ketika air naik dan nyawa dipertaruhkan.
Banjir itu meninggalkan luka bagi banyak orang—rumah yang rusak, harta yang hilang, trauma yang tak mudah hilang. Namun di antara semua kerusakan itu, muncul satu hal yang sulit diukur dengan angka: kemanusiaan.
Peristiwa itu mengajarkan bahwa kebaikan tidak selalu datang dari tempat yang kita harapkan. Bahwa orang yang pernah kita nilai dari kesalahannya bisa saja menjadi penyelamat di saat paling gelap. Dan bahwa pada akhirnya, sebelum menjadi hakim, sebelum menjadi narapidana, sebelum menjadi apa pun, manusia hanyalah manusia—yang ingin hidup, dan yang masih mampu menolong sesamanya.
(Diceritakan Rulis, dari beberapa sumber berita media)
Pilihan




