Merawat Diri di Tengah Tekanan Akademik: Pentingnya Self Love bagi Mahasiswa
Oleh Choirul Mas Ulah)*
Di tengah tuntutan akademik, sosial, dan karir yang semakin kompleks, mahasiswa dari berbagai jurusan sering kali terjebak dalam pusaran hustle culture, yaitu gaya hidup yang menuntut kerja keras berlebihan demi meraih standar ideal kesuksesan. Fenomena ini, diperparah oleh paparan media sosial yang memicu insecurity dan perilaku membandingkan diri, menciptakan tekanan mental yang nyata. Padahal, manusia tetap memiliki kebutuhan dasar akan istirahat dan ketenangan.
Di sinilah konsep self love atau mencintai diri sendiri, sebagaimana ditekankan dalam buku Self Love Guide karya Ipnu Rinto Nugroho, menjadi sangat relevan. Buku ini menegaskan bahwa mencintai diri sendiri bukanlah sikap egois, melainkan kebutuhan esensial. Tanpa kesadaran akan nilai diri, mahasiswa akan terus merasa tidak cukup dan cenderung memperlakukan dirinya secara tidak adil, terlepas dari jurusan atau pencapaian akademik mereka.
Buku Self Love Guide menekankan pentingnya memperlakukan diri dengan sebaik mungkin. Sering kali, mahasiswa merasa harus terlihat pandai dengan belajar semalam suntuk hingga mengorbankan waktu istirahat. Tuntutan kurikulum yang padat, proyek kelompok, hingga perlombaan mendorong mereka pada pola pikir bahwa nilai diri hanya diukur dari produktivitas dan pencapaian eksternal.
Seorang mahasiswa teknik mungkin merasa harus selalu meraih nilai sempurna. Mahasiswa kesehatan merasa dituntut menghafal seluruh materi demi kelulusan cepat. Pola ini, menurut panduan self love, merupakan bentuk ketidakadilan terhadap diri sendiri.
Ipnu Rinto Nugroho mengajarkan bahwa cinta pada diri dimulai dari merawat tubuh dan pikiran. Tidur cukup, makan bergizi, serta meluangkan waktu untuk hobi adalah bentuk nyata self love. Jika kita tidak mampu memperlakukan diri dengan baik, bagaimana mungkin kita dapat fokus dan memberikan yang terbaik dalam perkuliahan? Menerapkan self love bagi mahasiswa berarti mengelola waktu dengan bijak agar dapat menyeimbangkan kuliah, organisasi, istirahat, dan hiburan, sehingga terhindar dari kelelahan emosional.
Fenomena lain yang jamak terjadi adalah ketakutan berlebihan terhadap kegagalan dan kesulitan menerima ketidaksempurnaan. Ketika hasil tugas kurang memuaskan atau sebuah proyek gagal, mahasiswa kerap menyalahkan diri sendiri secara berlebihan, yang justru menenggelamkan potensi mereka. Padahal, kegagalan adalah bagian dari proses belajar.
Self Love Guide menekankan pentingnya berdamai dengan diri sendiri. Self love bukanlah mengagungkan diri, melainkan menerima diri secara utuh, termasuk kelebihan dan kekurangan. Bagi mahasiswa, ini berarti memaafkan diri ketika melakukan kesalahan dan mengapresiasi pencapaian kecil, seperti menyelesaikan tugas tepat waktu. Dengan kesadaran ini, mahasiswa dapat membangun self-esteem dan self-worth yang kuat—kekuatan batin yang tidak diukur dari standar pencapaian semata. Afirmasi positif sederhana seperti “aku sudah berusaha dengan baik” dapat mengubah cara pandang dari negatif menjadi lebih konstruktif.
Dalam interaksi sosial di kampus, mahasiswa juga sering menghadapi lingkungan pertemanan atau organisasi yang toksik, yang secara tidak sadar menguras energi mental. Keinginan untuk menyenangkan orang lain atau terlihat kompeten sering membuat mereka mengorbankan kebutuhan diri. Hal ini bertentangan dengan prinsip self love yang menekankan pentingnya batasan sehat.
Mencintai diri sendiri berarti berani berkata “tidak” pada hal-hal yang melelahkan secara mental, seperti relasi yang tidak mendukung atau aktivitas berlebihan. Nugroho menyarankan untuk menjauhi pertemanan toksik dan menjadikan diri sendiri sebagai pemimpin bagi hidup yang dijalani.
Dengan menerapkan hal ini, mahasiswa dari jurusan apa pun dapat menjaga kesehatan mental, mengurangi kecemasan, dan lebih tegar menghadapi masalah, karena mereka bertanggung jawab atas pilihan hidup mereka tanpa kehilangan empati atau hubungan sosial yang harmonis.
Buku Self Love Guide juga mendorong praktik penerimaan diri (self-acceptance). Bagi mahasiswa yang aktif dalam debat atau kompetisi, kritik dan kegagalan adalah hal yang pasti. Self love memungkinkan mereka melihat kritik sebagai masukan yang membangun, bukan serangan personal terhadap harga diri. Konsep ini juga mengajarkan pentingnya membatasi penggunaan media sosial dan berhenti membandingkan diri dengan standar yang tidak realistis. Dengan fondasi self love, mahasiswa dapat menentukan nilai dirinya sendiri tanpa menunggu validasi dari orang lain.
Inti self love adalah tindakan nyata yang dilakukan secara konsisten. Penerapannya dapat disesuaikan dengan ritme dan tantangan masing-masing jurusan. Bagi mahasiswa kesehatan, self love berarti tidak mengabaikan kesehatan fisik saat praktik. Mahasiswa pendidikan memaknainya dengan memberi jeda dari tekanan menyusun silabus dan latihan mengajar. Mahasiswa seni memaknainya sebagai ruang aman untuk berkarya tanpa tekanan perfeksionisme. Begitu pula jurusan lainnya, masing-masing memiliki kebutuhan berbeda dalam menerapkan self love.
Pada akhirnya, ajaran utama dari Self Love Guide adalah seruan untuk memulai semua bentuk cinta dari diri sendiri. Bagi mahasiswa dari berbagai jurusan, self love adalah pondasi kewarasan mental di tengah ekspektasi akademik yang tinggi. Ini adalah izin untuk beristirahat, memaafkan diri, menerima ketidaksempurnaan, dan menetapkan batasan.
Dengan menanamkan self love yang kuat, mahasiswa tidak hanya menjadi pribadi yang lebih tenang dan bahagia, tetapi juga mampu mengembangkan potensi diri secara optimal dan memperlakukan orang lain dengan baik, karena mereka telah belajar menghargai dan mencintai dirinya terlebih dahulu.
*) Mahasiswa Farmasi, Universitas Muhammadiyah Malang
(Editor: Rulis)
Pilihan





