Terserah yang Tak Pernah Terserah
Kata “terserah” mungkin terdengar kecil dan tak berbahaya. Namun di dunia hubungan, ia bisa berubah menjadi petualangan emosional nan kocak—bahkan kadang melelahkan—antara laki-laki dan perempuan, pacar, suami istri, hingga teman dekat. Tulisan ini mengajak kita menertawakan keseharian yang sering terjadi, sekaligus menjadi pengingat sederhana: komunikasi itu penting, jangan sampai satu kata mengubah hari jadi berantakan.
Ada satu kata di dunia komunikasi manusia yang kelihatannya damai, sederhana, lembut, tidak menuntut, tapi justru penuh misteri dan jebakan. Kata itu adalah: “Terserah.”
Iya, terserah. Kata lima huruf yang sering dipakai terutama dalam hubungan romantis—entah pacaran, tunangan, sampai rumah tangga—dan telah menjadi salah satu sumber komedi terbesar di media sosial. Para kreator video menjadikannya bahan adegan lucu, gemes, sekaligus bikin penonton manggut-manggut karena merasa, “Lho, ini kan gue banget.”
Dalam banyak video, biasanya digambarkan seorang laki-laki yang ingin bersikap manis. Ia mengajak pasangannya makan, dengan penuh kelembutan bertanya, “Sayang mau makan apa?” Sang pujaan hati menjawab dengan senyuman yang—bagi perempuan terasa normal, tapi bagi laki-laki terasa mengandung teka-teki—“Terserah.”
Dan disinilah petualangan dimulai.
Episode 1: Terserah, tapi Bukan Itu
Misalnya, si pria menawarkan,
“Bakso?”
Si wanita menggeleng, “Hmm… jangan yang berkuah. Perutku kayaknya nggak cocok.”
“Oke. Sushi?”
“Ih, yang mentah-mentah aku lagi nggak pengen.”
“Ya udah, ayam geprek?”
“Duh pedes, bibirku lagi sensitif.”
“Terserah makan apa?”
“Iya, terserah… asal bukan itu semua.”
Ini situasi paling klasik. Kata terserah ternyata datang bersama satu paket syarat dan ketentuan yang tidak pernah disebutkan secara langsung. Bukan berarti wanita salah atau pria benar—tidak. Ini hanya contoh nyata bahwa komunikasi antar manusia memang bisa sangat… elastis. Kadang seperti karet gelang, bisa ditarik panjang sekali sampai nyaris putus, tapi tetap dipakai.
Episode 2: Terserah yang Penuh Harapan
Ada pula pasangan yang sebenarnya ingin sesuatu, tapi malas mengatakannya.
“Terserah deh makan di mana. Kamu pilih aja,” kata si wanita sambil berharap pria memilih restoran favoritnya.
Sementara si pria berpikir, “Ah, akhirnya kesempatan mengambil keputusan yang bebas!” Lalu ia memilih warung padang karena dekat dan murah.
Begitu sampai parkiran, wajah si wanita berubah. Tidak meledak, tapi cukup untuk memperlihatkan bahwa hati dan harapan tak sejalan dengan realita.
“Kenapa di sini?”
“Kamu kan bilang terserah…”
“Iya, tapi masa sih dari semua tempat… ini?”
Lagi-lagi, keduanya tidak salah. Yang satu berharap dipahami hati nuraninya, yang lain mengira sedang menjalankan tugas dengan benar. Pada akhirnya keduanya pulang dengan sedikit hening, tapi nanti baikan lagi sambil tertawa. Begitulah dinamika kecil yang kalau dijadikan konten video, pasti banyak yang komen, “Fix ini hubungan gue sama pacarku.”
Episode 3: Terserah yang Berbahaya
Yang paling rumit adalah ketika kata “terserah” muncul di saat-saat genting, misalnya ketika mengambil keputusan yang berhubungan dengan penampilan.
Pria: “Sayang, baju yang mana bagus buat acara besok?”
Wanita: “Terserah, tapi jangan yang itu. Terlalu polos.”
Pria: “Kalau yang ini?”
Wanita: “Hmm… kurang matching sama celana.”
Pria: “Yang hitam?”
Wanita: “Kamu kan sering pakai itu. Bosen nggak sih?”
Akhirnya sang pria mengambil kesimpulan bahwa “terserah” sebenarnya bukan izin, melainkan ujian—dan nilai ujiannya jarang diumumkan secara resmi.
Episode 4: Terserah Bersyarat
Bukan hanya perempuan yang mengucapkan “terserah”, laki-laki pun melakukannya. Bedanya? Biasanya laki-laki memakai “terserah” ketika sudah capek berdebat, bukan karena bingung menentukan pilihan.
Misalnya:
Wanita: “Dekor kamar kita warnanya mau biru pastel atau hijau sage?”
Pria: “Bebas, terserah kamu.”
Wanita: “Tapi kamu harus ikut memilih dong, ini kamar kita.”
Pria: “Ya terserah kamu… asal jangan pink.”
Wanita: “Kenapa nggak boleh pink?”
Pria: “Nanti kamar kita kayak cotton candy.”
Dan pembicaraan berlanjut panjang, sementara si pria berharap ada tombol skip.
Episode 5: Terserah, Tapi Bukan Soal Tempat
Ada juga peristiwa ketika kata “terserah” tidak digunakan untuk memilih makanan, tapi untuk suasana hati. Ini lebih kompleks.
Contohnya:
Wanita: “Kamu mau aku nemenin atau kamu pengin sendiri dulu?”
Pria: “Terserah kamu.”
Wanita: “Bilang aja dong, maunya apa.”
Pria: “Aku nggak tahu…”
Tiba-tiba kata “terserah” berubah dari komedi menjadi drama Korea 16 episode. Di titik ini, komunikasi bukan lagi soal makanan atau warna baju, melainkan perasaan yang terselip dan tidak bisa diungkapkan dengan lugas. Kadang manusia mengucapkan “terserah” karena bingung menyelami dirinya sendiri.
Mengapa “Terserah” Bisa Menjadi Masalah?
Karena hubungan dibangun dari dua (atau lebih) kepala dan dua hati yang berbeda. “Terserah” sering muncul sebagai jalan pintas untuk menghindari konflik, malas berpikir, atau ingin terlihat fleksibel. Tapi justru kata ini bisa membuat lawan bicara salah menafsirkan dan mengambil keputusan yang tidak sesuai harapan.
Bagi sebagian manusia, “terserah” mengandung pesan tersembunyi seperti:
- “Aku ingin kamu tahu jawabannya tanpa aku harus ngomong.”
- “Aku sebenarnya punya keinginan, tapi takut salah atau takut kamu kecewa.”
- “Aku ingin kamu peka, tapi aku tidak mau terlihat menuntut.”
Kata kecil ini bisa menjadi pemantik percakapan yang lebih dalam jika dibiarkan berulang. Yang tampak sederhana bisa berdampak besar—macam percikan kecil yang bisa menyalakan kompor.
Bagaimana Sebaiknya?
- Sebutkan Keinginan Secara Jelas
Kalau ingin makan mie ayam, bilang. Kalau ingin kopi yang tidak terlalu manis, bilang. Jangan berharap pasangan membaca pikiran seperti cenayang. - Jika Memang Tidak Ada Preferensi, Katakan Alasannya
Misalnya, “Aku beneran bebas, moodku lagi netral aja.”
Ini memberi rasa aman bagi lawan bicara. - Hindari “Terserah” Saat Keputusan Penting
Karena setiap keputusan penting harus dibangun bersama, bukan dari tebak-tebakan. - Belajar Mendengarkan Tanpa Drama
Kadang pasangan hanya takut meributkan hal kecil. Tunjukkan bahwa kata-kata mereka aman untuk diutarakan. - Gunakan Humor
Kadang hubungan bertahan bukan karena selalu benar, tapi karena bisa tertawa bersama saat salah.
Tertawa Dulu, Introspeksi Belakangan
Kata “terserah” sudah menjadi bagian dari folklore modern hubungan manusia. Kita menertawakannya di TikTok, di Instagram Reels, di meme, dalam obrolan sesama teman. Tapi di balik semua kelucuan itu, ada pelajaran penting: hubungan sehat dibangun bukan dengan tebak-tebakan, tapi dengan komunikasi yang jujur dan saling memahami.
Tidak ada salahnya bercanda, tidak ada salahnya gemes-gemesan. Tapi ketika satu kata kecil bisa membuat hubungan tergelincir, mungkin sudah waktunya kita berhenti sejenak dan berkata lebih jelas:
“Aku maunya ini. Kamu gimana?”
Karena pada akhirnya, yang dibutuhkan bukan “terserah”—melainkan saling mengerti.
(Rulis)
Adegan video "Terserah"
Sumber video: https://www.facebook.com/share/v/1ABfCjmD5o/ Pilihan





