Pendidikan dan Makna Menjadi Manusia Bernilai


Di banyak tempat, pendidikan sering dipandang sebagai sebuah perlombaan. Para siswa berlomba-lomba mendapatkan nilai tinggi, orang tua berharap anaknya selalu berada di peringkat atas, dan sekolah merasa bangga jika banyak siswanya memperoleh angka yang memuaskan. Rapor menjadi semacam mahkota, sementara angka dianggap sebagai bukti keberhasilan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, apakah benar tujuan utama pendidikan hanya sebatas angka di atas kertas?

Seiring waktu, kita mulai menyadari bahwa pendidikan seharusnya memiliki makna yang jauh lebih luas. Pendidikan bukan sekadar urusan lulus atau tidak lulus, bukan pula tentang mengumpulkan sertifikat atau menyusun barisan nilai sempurna. Pendidikan adalah perjalanan panjang untuk membentuk manusia agar memiliki nilai bagi dirinya sendiri dan juga bagi lingkungannya. Nilai akademis hanyalah satu bagian kecil dari proses itu, bukan puncaknya.

Terjebak dalam Angka dan Peringkat

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita temui orang tua yang menanyakan hal pertama pada anaknya: “Berapa nilaimu hari ini?” atau “Kamu dapat rangking berapa?” Pertanyaan-pertanyaan ini seolah menegaskan bahwa keberhasilan seorang anak ditentukan dari hasil ujian. Padahal, anak yang mungkin nilainya biasa saja bisa saja memiliki kepekaan sosial yang tinggi, mampu bekerja sama dengan baik, atau memiliki kreativitas yang luar biasa.

Di sisi lain, banyak siswa yang merasa harus terus mengejar nilai sempurna. Mereka mendekati pendidikan seperti mengejar target angka. Ketika nilai tidak sesuai harapan, mereka merasa gagal. Ketika peringkat menurun, rasa percaya diri ikut menurun. Padahal angka tidak bisa mencerminkan keseluruhan kemampuan seseorang.

Ada siswa yang hebat dalam berpikir kritis, tetapi kurang tangkas saat ujian pilihan ganda. Ada siswa yang sangat pandai berkomunikasi dan dapat menyelesaikan konflik dengan bijaksana, tetapi nilainya tidak mencolok. Ada pula siswa yang memiliki imajinasi luas dan ide-ide baru, namun dianggap “kurang pintar” hanya karena nilainya tidak tinggi.

Di sinilah letak persoalannya. Kita terlalu lama terjebak pada pandangan bahwa nilai akademis adalah tolok ukur keberhasilan, padahal itu hanyalah gambaran kecil dari potensi manusia.

Sekolah yang Kehilangan Ruhnya

Ketika sekolah terlalu fokus pada angka, maka perlahan-lahan sekolah kehilangan ruhnya sebagai tempat bertumbuh. Guru terpaksa mengejar target materi agar nilai siswa terlihat baik. Orang tua hanya peduli pada hasil akhir tanpa mengerti proses di dalamnya. Siswa belajar bukan karena ingin tahu, tetapi karena takut mendapat nilai rendah.

Jika pendidikan diukur seperti kompetisi, maka sekolah berubah menjadi pabrik yang hanya mencetak angka, bukan membentuk manusia. Anak-anak belajar menghafal, bukan memahami. Mereka belajar demi ujian, bukan demi hidup. Padahal, hidup tidak menguji kita dengan soal pilihan ganda. Hidup justru memberi pertanyaan terbuka, penuh ketidakpastian, dan membutuhkan kemampuan mengambil keputusan.

Ketika sekolah kehilangan ruhnya, maka pendidikan hanya menjadi kegiatan rutin tanpa makna. Ruang kelas menjadi tempat menunggu bel masuk dan bel pulang, bukan tempat menumbuhkan rasa ingin tahu. Murid-murid mungkin lulus dengan nilai tinggi, tetapi belum tentu memiliki kemampuan menghadapi dunia nyata.

Pendidikan Sebagai Pembentuk Karakter

Pendidikan sejati seharusnya memusatkan perhatian pada pembentukan karakter. Di sinilah nilai-nilai seperti kejujuran, keberanian, tanggung jawab, kepedulian, dan kerja sama mulai tumbuh. Anak perlu belajar bukan hanya cara mengerjakan soal, tetapi juga bagaimana mereka memahami dirinya sendiri, mengenal orang lain, dan menjadi manusia yang dapat berkontribusi dalam lingkungannya.

Hidup sering kali lebih berat daripada ujian matematika. Untuk menghadapi masalah hidup, kita tidak cukup hanya dengan rumus. Kita membutuhkan keberanian menghadapi kenyataan, kejujuran dalam bertindak, kemampuan mendengar orang lain, dan kesediaan belajar hal baru. Inilah kecerdasan sejati yang tidak bisa diukur lewat angka.

Orang yang cerdas secara akademik belum tentu mampu menyelesaikan konflik, memimpin suatu kelompok, atau menjaga komitmen. Banyak siswa yang terampil menghafal teori, tetapi kesulitan bekerja sama dengan teman. Ada pula siswa yang selalu mendapatkan nilai tinggi, tetapi cepat menyerah ketika menghadapi masalah yang tidak ada jawabannya di buku.

Dengan kata lain, pendidikan yang baik bukan hanya mencetak anak pintar, tetapi juga mencetak anak yang baik—anak yang jujur, bertanggung jawab, dan peduli.

Menjadi Manusia Bernilai

Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan menjadi manusia bernilai?

Menjadi manusia bernilai berarti seseorang mampu menggunakan ilmunya untuk memberi manfaat. Ilmu yang tidak digunakan hanya menjadi catatan di buku. Ilmu menjadi bermakna ketika diterapkan dalam kehidupan, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.

Seorang yang bernilai bukan hanya yang dapat memecahkan soal-soal ujian, melainkan yang mampu memecahkan masalah nyata di lingkungan sekitar. Orang seperti ini tidak hanya pandai saat duduk di bangku sekolah, tetapi juga pandai berperan sebagai anggota masyarakat.

Misalnya, seorang lulusan akuntansi yang membantu UMKM di lingkungannya mengatur keuangan, atau seorang lulusan pertanian yang mengajari petani lain tentang teknik tanam baru. Contoh lainnya, seorang guru yang tidak hanya mengajar, tetapi juga menjadi inspirasi bagi muridnya. Atau seorang pemuda yang menggunakan keterampilan teknologi untuk membantu warga desa mengelola informasi.

Itulah manusia bernilai—yang ilmu dan sikapnya memberi dampak bagi kehidupan.

Sekolah yang Membentuk Manusia, Bukan Angka

Sekolah yang baik bukanlah sekolah yang bangga karena siswanya mendapat nilai tinggi semata. Sekolah yang baik adalah sekolah yang memperhatikan pertumbuhan setiap siswa sebagai manusia. Sekolah seperti ini akan memberi ruang bagi murid untuk bertanya, mengeksplorasi, mencoba, bahkan gagal tanpa merasa takut.

Sekolah yang sehat tidak membuat siswa tertekan karena nilai. Justru sebaliknya, sekolah memberi dukungan agar setiap murid menemukan potensi terbaiknya. Ada siswa yang berbakat dalam seni, ada yang kuat dalam logika, ada yang unggul dalam kepemimpinan, ada yang hebat dalam empati. Semua potensi ini sama berharganya.

Guru pun berperan besar dalam membentuk suasana belajar. Ketika guru melihat siswa bukan sebagai angka, tetapi sebagai individu dengan cerita masing-masing, maka kelas menjadi tempat yang lebih manusiawi. Guru bukan hanya penyampai materi, tetapi pembimbing yang menuntun karakter dan pola pikir.

Orang tua juga harus melihat bahwa nilai bukan satu-satunya ukuran. Anak yang pulang dengan nilai biasa saja bukan berarti gagal. Bisa jadi ia sedang mengembangkan hal lain: keberanian, empati, atau kemampuan bergaul. Orang tua perlu memberi dukungan agar anak berani menjadi diri sendiri, bukan hanya mengejar peringkat.

Perjalanan Panjang Menuju Makna

Pendidikan yang sejati adalah sebuah perjalanan panjang. Perjalanan untuk mengenal diri, mengenali kemampuan, belajar dari pengalaman, dan menemukan cara memberi manfaat. Dalam perjalanan ini, nilai akademis hanyalah satu titik pemberhentian. Kadang nilainya tinggi, kadang biasa saja, dan kadang tidak sesuai harapan. Tetapi itu tidak menentukan seluruh masa depan.

Sertifikat bisa hilang, rapor bisa pudar warnanya seiring waktu. Namun kepribadian yang kuat, rasa ingin tahu yang sehat, kemampuan menyelesaikan masalah, dan kepekaan sosial akan selalu menjadi bekal hidup yang bertahan lama.

Sebuah sekolah dikatakan berhasil bukan ketika siswanya banyak yang meraih nilai sempurna, tetapi ketika siswanya tumbuh menjadi manusia yang memahami dirinya, menghargai orang lain, dan siap menghadapi tantangan kehidupan. Inilah pendidikan yang tidak lekang oleh waktu.

Penutup: Kembali ke Makna Pendidikan

Jika kita melihat kembali tujuan awal pendidikan, sebenarnya pendidikan dimaksudkan untuk memanusiakan manusia—menjadikannya lebih bijaksana, lebih berdaya, lebih bermanfaat. Pendidikan adalah proses membangun nilai diri, bukan sekadar membangun angka.

Maka, sudah saatnya kita menempatkan nilai akademis pada tempatnya. Nilai penting, tetapi bukan segalanya. Yang lebih penting adalah bagaimana seseorang menggunakan ilmunya untuk kebaikan, bagaimana ia membentuk sikap yang benar, dan bagaimana ia berkontribusi bagi kehidupannya.

Pada akhirnya, pendidikan bukan tentang siapa yang paling pintar di kelas. Pendidikan adalah tentang siapa yang paling siap menjalani hidup, siapa yang paling mampu memberi manfaat, dan siapa yang paling memahami makna menjadi manusia.

Itulah tujuan sejati pendidikan.

(Rulis, dari beberapa sumber)

 

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 369910967600697922

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Banner untuk Anda

Banner untuk Anda
Anda punya rencana kegiatan yang mau dipublikasikan dalam bentuk banner? Kegiatan apapun, silakan kirim lewat email penulisrulis@gmail.com, dan akan kami terbitkan di halaman ini. Gratis

Puisi Lawas Syaf Anton Wr

Puisi Lawas Syaf Anton Wr
Puisi-puisi ini ditulis pada tahun 80-an, dan telah terbit di sejumlah media cetak pada tahun yang sama. Sebagian juga telah terbit dalam buku kumpulan puisi tunggal “Cermin” (1983) - Selengkapnya klik ganbar

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close