Pengantin Tanpa Malam Pertama


Cerpen Yulianti

Siti menjalani pernikahan yang ditentukan keluarga, namun malam pertamanya membuka rahasia gelap suaminya. Sebuah kisah tentang luka, kesunyian, dan keberanian seorang istri mempertahankan pernikahan yang tak pernah benar-benar dimulai.

*****

Tuhan… entah dari mana aku harus mulai mencintainya?

Keluhan itu menggema pelan di dada Siti ketika ia melangkah masuk ke kamar pengantin. Ruangan itu dihias dengan kain renda berwarna pink yang lembut, dipadukan sentuhan kuning emas yang memantulkan cahaya. Aroma melati menguar dari setiap sudut; taburannya memenuhi permukaan kasur dengan sprei senada. Dari sudut meja kecil, dupa elektrik melepaskan kepulan wangi yang menenangkan sekaligus menyesakkan.

Siti berdiri di depan cermin besar. Wajahnya yang pucat terpantul jelas—seorang perempuan yang tak pernah menyangka hidupnya akan berlabuh pada kerabat dekat sendiri, masih satu garis keturunan dari Mbah Buyut, sama-sama priyayi, sama-sama pewaris tradisi keluarga yang sarat aturan.

Ia tak mengenal pacaran. Namun ia juga tak pernah benar-benar melakukan taaruf dengan Hamid—lelaki yang pagi tadi resmi mengikatnya dalam ijab kabul. Seorang pemuda berpendidikan, lulusan S2, kepala sekolah di yayasan keluarga. Semua orang bilang ia laki-laki baik, mapan, dan tepat untuknya.

Siti menarik napas panjang. Pelan-pelan ia melepaskan helai melati yang menempel di hijabnya. Ada genangan air yang ia tahan di sudut matanya. Ia sudah menyerah pada tali takdir, sebelum hatinya sempat benar-benar berlabuh pada pilihan yang ia inginkan—Ahmad Yazil, kakak tingkat yang diam-diam disukainya. Namun keluarganya sudah menentukan, sebagaimana mereka menentukan jodoh bagi kakak-kakaknya sebelumnya.

“Kenapa?”

Suara Hamid memotong lamunannya. Siti terkejut, lalu menggeleng pelan. Bagaimanapun, laki-laki yang kini berada satu kamar dengannya adalah suami sahnya—jalan yang seharusnya membawanya menuju ridha Tuhan. Ia ingin belajar menerima, meski hatinya belum seluruhnya berada di sini.

“Kau tidak suka dengan pernikahan ini?” tanya Hamid sambil mendekat, terlalu dekat hingga Siti spontan memalingkan wajah.

Tangan Hamid terulur hendak menyentuh pundaknya. Siti bergeser menjauh, masih berusaha merapikan gemuruh dalam dirinya.

“Maaf… beri aku waktu. Aku hanya belum siap,” ucapnya lirih.

Hamid menatapnya lama. “Mulai malam ini aku suamimu, Siti. Dan aku berhak atasmu.”

Kata-kata itu menusuk Siti seperti kewajiban yang tiba-tiba menjadi beban. Ia tahu, setelah akad, ia punya tanggung jawab sebagai seorang istri. Semua ini kenyataan yang tak bisa ia tolak.

Hamid mematikan lampu utama. Ruangan kini diterangi lampu tidur yang temaram. Wangi melati bercampur dengan aroma dupa pengantin menciptakan suasana syahdu—atau mungkin justru menambah kantuk dan kepasrahan. Siti memejamkan mata, mencoba menyerahkan diri pada takdir yang tak sempat ia pilih.

Ia ingin percaya bahwa Hamid akan menjadi imam yang baik. Bahwa cinta bisa tumbuh jika ia merawatnya. Bahwa malam ini hanyalah pintu kecil menuju hari-hari yang panjang.

Namun ketika ia mulai mengikhlaskan kesuciannya, sesuatu yang tak pernah ia sangka terjadi. Hamid tiba-tiba mendorongnya hingga hampir terjatuh. Ia mencakar bahu Siti, menjambak rambut lurusnya, lalu berlari ke kamar mandi sambil menyakiti dirinya sendiri.

Siti terpaku. Malam pertama yang seharusnya menjadi awal kebahagiaan berubah menjadi teka-teki yang menyesakkan. Ia memperhatikan tubuh Hamid yang penuh luka cakaran—luka yang dibuatnya sendiri—dan melihatnya menjauh, memilih tidur di sofa yang terletak jauh dari ranjang.

Siti tak tahu harus berbuat apa. Dan ia tak berani menceritakan ini pada siapa pun. Baginya, suami adalah pakaian bagi istri. Membicarakan kekurangannya berarti menelanjangi dirinya sendiri di hadapan orang lain. Ia harus menjaga kehormatan Hamid, apa pun yang terjadi.

Di balik takut dan bingung, muncul rasa iba. Siti ingin menolong Hamid keluar dari masalahnya, apa pun itu. Ia meyakinkan diri bahwa Hamid lelaki normal, yang suatu hari bisa menunaikan kewajibannya, menghadirkan gelak tawa anak-anak mereka.

Malam-malam berikutnya Siti jalani dengan harapan yang kadang tumbuh, kadang layu. Ia berusaha tampil memesona, mempercantik diri, mencoba membangkitkan hasrat suaminya. Namun kejadian malam pertama selalu terulang. Hamid tetap tak sanggup menjadi suami seutuhnya. Ia selalu mengakhiri kebersamaan mereka dengan melukai Siti dan menyakiti dirinya sendiri.

“Maafkan aku…” ucap Hamid suatu malam, menggenggam tangan Siti yang kecil dan halus. Siti hanya mengangguk, sambil membersihkan seprai dengan air mata yang ia sembunyikan.

“Tinggalkan aku, Siti. Kau berhak bahagia. Biar aku yang bicara pada keluarga. Aku… aku tidak sanggup melihatmu tersiksa.”

Siti menatapnya lama. Ia ingin berteriak bahwa ia pun lelah, tapi bibirnya tak mampu membuka diri. Air mata menetes cepat, namun ia menggeleng pelan. Ia memilih bertahan, meski pernikahan mereka kini hanya tertulis sebagai status di KTP—tak lebih.

Dalam diamnya, Siti percaya bahwa setiap manusia membawa luka yang mungkin tak pernah terlihat. Dan entah bagaimana, ia ingin tetap menjadi pelabuhan kecil bagi luka-luka Hamid, meski cintanya belum sempat tumbuh.

Meski ia sendiri belum tahu, sampai kapan ia akan sanggup bertahan.

(Judul asli: “Status KTP”, dan disempurnakan oleh Rulis)

 

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 5174362199447738922

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Banner untuk Anda

Banner untuk Anda
Anda punya rencana kegiatan yang mau dipublikasikan dalam bentuk banner? Kegiatan apapun, silakan kirim lewat email penulisrulis@gmail.com, dan akan kami terbitkan di halaman ini. Gratis

Puisi Lawas Syaf Anton Wr

Puisi Lawas Syaf Anton Wr
Puisi-puisi ini ditulis pada tahun 80-an, dan telah terbit di sejumlah media cetak pada tahun yang sama. Sebagian juga telah terbit dalam buku kumpulan puisi tunggal “Cermin” (1983) - Selengkapnya klik ganbar

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close